Medium (Chapter 1)

Chapter 01–Si Kembar

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

Inspired by Master’s Sun (K-drama), The Conjuring (Hollywood Movie) & American Horror Story (TV Series)

Warning: AU, OC & OOC

“Kau dari rumah Hatake lagi?” tanya wanita berambut merah muda itu setelah menaruh cangkir tehnya di meja. “Untuk apa kau melakukan itu?”

Wanita berambut merah kusam panjang, yang wajahnya mirip dengannya itu mengangguk pelan.  “Aku hanya ingin melihat Hikaru.”

Wanita berambut merah muda itu memandangnya dengan prihatin.  “Apa Kakashi melihatmu lagi, Akira?”

Akira mengangguk dengan lemas.  “Dia mengancam jika aku datang lagi, dia akan mengirim Hikaru ke Amerika.”

Sakura mengepalkan tangannya dengan kesal.  “Ini tidak bisa dibiarkan. Mulai sekarang lebih baik, kau tidak perlu kembali ke sana lagi!”

“Kau tidak mengerti Sakura.” Katanya dengan mata berkaca-kaca.  “Aku ingin bertemu anakku.  Apa pun yang kulakukan untuk mendapatkannya kembali lewat jalur hukum, itu tidak akan pernah bisa dilakukan.  Kakashi berpikir aku tidak pantas menjadi seorang ibu, karena gangguan kejiwaan.”

Hening.

Sakura memandang Akira dengan prihatin.

“Kita harus bicara dengannya.” Sergah Sakura.  “Kita bicara padanya tentang hal yang sebenarnya.”

“Apa kau gila?  Dia akan benar-benar melaporkan pada polisi bahwa keluarga kita memang gila dan oh… apa yang harus kukatakan padanya? –‘Kakashi, ada seorang wanita mengerikan yang mengikutimu sejak kau kembali dari Amerika.’ –begitu?  Dia lalu akan mendepak kita dari rumahnya dan menyewa puluhan sekuriti untuk mengamankan rumahnya.”

Sakura menghela napas.  Ia semakin bingung ketika dua bulan yang lalu, pria bernama Hatake Sakumo meneleponnya untuk menjemput Akira di rumah sakit jiwa setelah sekian lama ia tidak bertemu saudara kembarnya itu.  Terlebih lagi berita mengejutkan tentang ibu mereka yang sudah tiada sejak enam tahun yang lalu.

“Lebih baik sekarang kita pulang.” Kata Sakura pelan-pelan.  “Ah, aku baru ingat.  Mikoto Obasan mengundang kita makan malam di rumahnya.”

“Eh?”

“Itachi-Nii baru saja pulang dari Amerika, Mikoto Obasan ingin kita juga merayakan kedatangannya.”

Akira terdiam selama beberapa saat sampai ia akhirnya mengangguk dan ikut beranjak dari sana.

Medium

Musim dingin delapan belas tahun yang lalu…

Daijoubuka, Akira?” gadis kecil berambut merah muda itu bertanya pada kakak kembarnya.  Mata hijau cerahnya memandang sang kakak yang terbatuk-batuk setelah meminum beberapa tablet.

Watashi wa daijoubu.” Balas gadis berumur tujuh tahun itu dengan suara parau.  Rambut merah kusamnya terlihat kusut dengan banyak debu yang menempel.  Mata berwarna birunya terlihat bengkak karena banyak menangis. “Pahit.”

Gadis berambut merah muda itu menepis tangan Akira yang masih menggenggam pil yang akan diminumnya.  “Sakura,”

Gadis yang dipanggil Sakura itu menendang pil itu sampai menggelinding ke bawah lemari pakaian mereka.  “Otousan dan Okaasan tidak akan tahu.”

Suara tangis ibu dan bentakan ayah mereka masih terdengar.  Sakura beringsut ke arah Akira.  Kedua gadis kecil itu berpelukan dengan erat.

“Sakura, kau percaya padaku, kan?”

Sakura mengangguk.  “Selalu.”

Suara pintu kamar yang terbuka membuat keduanya terlonjak.  Kedua gadis itu melihat ibu mereka membawa tas besar dan mulai memasukan pakaian Akira ke dalam tas.  Sakura dan Akira bertatapan dengan khawatir.

“Akira-chan, ayo ikut Okaasan.

Akira memandang tangan ibunya yang terulur.  Kedua gadis kecil itu tetap berpelukan dan memandang ibu mereka.

Okaasan akan pergi?” tanya Sakura.

“Ya, maka dari itu…. Akira-chan, ikutlah dengan Okaasan.

Akira menggeleng.  “Tidak mau.”

Wanita berambut pirang itu menarik lengan Akira.  “Kau harus ikut Okaasan!

“Akira,” Sakura mencoba menarik tangan Akira. “Okaasan, jangan pergi!  Jangan bawa Akira!”

“Sakura,” pekik Akira.  Ia genggam erat-erat tangan Sakura.  Namun, tarikan tangan ibunya begitu kuat hingga kedua tangan mereka terlepas.

“Akira!” teriak Sakura.

“Sudahlah, Sakura.”

Otousan, lepaskan!  Okaasan, Akira, aku mohon jangan pergi!”

Medium

Musim panas tujuh belas tahun yang lalu…

“Akira-chan, mulai sekarang dia akan menjadi ayahmu.”

Pria berambut perak itu memandangnya sambil mengulurkan tangannya dengan ramah.  “Selamat datang, Akira-chan.”

Akira dengan ragu menglurkan tangannya dan menyambut tangan pria itu.  Akira tersenyum padanya begitu tangan hangat pria itu mengusap-ngusap kepalanya.  Namun, sesosok wanita dengan wajah pucatnya memandang Akira dengan tajam.  Akira terlompat mundur dan bersembunyi di belakang tubuh ibunya.

“Akira-chan,” ibunya berusaha menenangkannya.  “maafkan dia Sakumo, Akira anak yang pemalu.”

“Tidak apa-apa Mebuki, aku yakin dia akan mulai beradaptasi di sini dengan baik.”

Akira masih tetap bersembunyi di balik tubuh ibunya.  Ia menarik napas tak beraturan begitu wanita itu masih berada di belakang Sakumo dan menampakan wajah sedih.  Ia memejamkan matanya rapat-rapat.  Ia membatin dengan sedih, mengapa hanya dirinya yang bisa melihat apa yang tak bisa mereka lihat.

“Oh, Kakashi,” Sakumo menyapa seorang pemuda dengan seragam SMA yang baru saja masuk ke dalam rumah.  Pemuda itu memandang Sakumo dengan datar, masker yang menutupi sebagian besar wajahnya membuat Akira penasaran. “kemarilah!”

Pemuda tinggi yang menenteng bola basketnya itu dan berkata dengan dingin, “Ada apa?”

“Ini Mebuki-san yang pernah kuceritakan padamu.  Mulai saat ini, ia akan tinggal di sini dan menjadi ibumu.”

Cih,” pemuda itu membuang muka.

“Hentikan sikapmu itu, Kakashi.” Tegur Sakumo.

Akira memandang pemuda itu dengan mata birunya yang cerah.  Kakashi yang melihat gadis kecil itu mengernyit.  “Siapa dia?”

Mebuki lalu mendorong Akira ke depan.  “Ini putriku.” Ujarnya.  “Akira-chan, perkenalkan dirimu!”

“Haruno Akira-desu.” cicitnya.  “Yoroshiku onegaishimasu.

Kakashi memandangnya tajam dengan pandangan tak suka.

“Nah, Kakashi bisa kau antar Akira-chan ke kamarnya?”

“Kenapa aku?” gerutunya.

“Karena kau adalah kakaknya.” Balas Sakumo.  Sekarang pria itu sedang tidak ingin dibantah.

“Dia bukan adikku.”  Katanya dengan dingin.  Sakumo memandangnya dengan tajam.  Kakashi yang tidak memiliki pilihan lain, akhirnya menuruti perintah ayahnya.  “Cepatlah kemari!” perintahnya dengan dingin pada Akira.

Akira dengan setengah berlari mengikuti Kakashi.  Ia masih takut melihat wanita yang terlihat menangis itu.  Akira melangkah dengan terhuyung sambil memandang wanita itu dengan ngeri, sampai ia tidak sengaja memegang sesuatu dan wanita itu menghilang.

“Lepaskan tanganmu!” geraman pemuda itu membuatnya menoleh.

Akira memandangnya dengan takjub.  “Menghilang,”

“Apa?”

“Aku tidak sengaja memegang tanganmu, tapi wanita itu menghilang.”

Kakashi mengernyit.  “Ibumu?”

Akira menggeleng.  “Wanita berambut hitam panjang yang ada di belakang Sakumo Otousama.

Kakashi mengernyit dan melepaskan tangan Akira dengan kasar.  Ia mengabaikan ucapan Akira dan menyuruh gadis kecil itu agar bergegas.

Ne, Oniisan…

“Jangan memanggilku seperti itu!” selanya dengan cepat.

“Eh?”

“Aku bukan kakakmu.”

“Oh… kalau begitu… aku memanggilmu Kakashi.  Kakashi?” katanya dengan ceria sambil bergelayut manja pada tangan pria itu.

“Lepaskan!” perintahnya lagi dengan dingin.

Akira menundukkan kepalanya dengan sedih, dan melepaskan genggaman tangannya pada Kakashi dengan enggan.

Medium

Musim semi enam belas tahun yang lalu…

“Kau tidak meminum obatmu lagi?”

Akira menggeleng dengan ceria.  “Tidak.” Jawabnya dengan suara nyaring.

“Kenapa?” tanya Mebuki.

“Karena ada Kakashi,”

Mebuki yang melihat wajah putrinya yang berseri-seri seperti itu tersenyum.  “Panggil dia ‘Oniisan’, Akira.”

“Tapi, Kakashi tidak ingin dipanggil seperti itu.”

“Begitu?”

“Hm…” Hikaru mengangguk.

Tak lama kemudian suara bola basket menggelinding terdengar, dan Kakashi muncul di sana sambil melonggarkan dasinya.  Jelas sekali ia baru saja pulang dari sekolah.  Pemuda itu melirik ibu dan anak perempuannya itu dengan sekilas dan melanjutkan langkah ke kamarnya.

Okaerinasai,” kata Mebuki dengan tenang.

Kakashi tak menjawab.

“Kakashi….” seru Akira sambil melempar dirinya sendiri untuk memeluk Kakashi.

“Hei,” Kakashi berseru tak senang.

Okaeri, Kakashi.”

Kakashi hanya menghela napas dan bergegas ke kamarnya walaupun Akira tetap bergelayut di lengannya.

Medium

“Kami senang Itachi-nii sudah pulang,” ungkap Sakura pada acara makan malam bersama keluarga Uchiha.

“Terima kasih, Sakura.” Jawab Itachi sambil tersenyum lembut.  Lalu pandangannya beralih pada Akira yang sedari tadi diam saja.  “Sakura sejak dulu tidak berubah, tapi Akira sekarang jauh lebih pendiam.” Katanya.

Merasa namanya disebut-sebut Akira mengerjapkan matanya.  “Ah, maaf.”

“Kau pasti banyak memikirkan Hikaru, kan?” kata Mikoto.

Eh etto…” Akira bingung akan apa yang harus ia katakan.

Mikoto menggenggam tangannya.  “Tidak perlu cemas.  Aku yakin dia baik-baik saja.” katanya dengan lembut.

Arigatou Obasan,”

Mikoto tersenyum.  Ia lalu tiba-tiba menepukkan kedua tangannya.  “Aku baru ingat besok adalah hari Sabtu.  Itachi-kun, bagaimana jika kau mengajak Akira berkencan?”

“Eh?” Akira terkejut mendengarnya.  “Ta… tapi,”

“Kau perlu jalan-jalan sayang.” Mikoto mengedipkan mata padanya.  “Sakura dan Sasuke pun boleh ikut.”

“Apa?  Tidak!” seru Sakura tiba-tiba.

“Hei, tidak perlu berteriak seperti itu!  Lagi pula aku tidak berminat berkencan denganmu.”

“Aku pun tidak berharap diajak kencan oleh stalker sepertimu!”

Melihat kekompakan keduanya menolak membuat Itachi tertawa geli.  “Kalian ini selalu saja seperti itu.”

Medium

Musim gugur enam tahun yang lalu…

“Kakashi,” gadis berumur sepuluh tahun itu berlari mengejar mobil yang dinaiki pria itu.

“Akira, jangan berlari!” jerit Mebuki sambil ikut mengejar anaknya.

“Akira,” Sakumo yang ikut berlari dengan sigap menarik lengannya dan memeluk gadis kecil itu agar berhenti mengejar mobil yang ditumpangi pria yang akan pergi ke Amerika itu.

“KAKASHI!”

Medium

Menjelang musim dingin, orang-orang mulai mengenakan pakaian tebal.  Akira awalnya tidak begitu setuju ide tentang kencan ini.   Tapi, karena Mikoto setengah memaksa, ia tidak ada pilihan lain selain mengikuti sarannya untuk berkencan dengan putra sulung wanita itu.

“Maafkan ibuku, dia sekarang ini sedang gencar-gencarnya menyuruhku menikah.” Kata Itachi.

“Tidak apa-apa.” Balas wanita itu.  “Lagi pula aku tidak ada acara di hari Sabtu seperti ini.”

Pria itu tersenyum lembut.  “Rasanya sudah lama sekali ya, terakhir kali aku melihatmu saat itu kau masih kecil dan sangat manis.”

Dipuji begitu, wajah Akira memerah.  “Ya, sudah lama sekali.” katanya dengan pandangan menerawang.”

Keduanya terus berjalan menyusuri taman bermain. Keduanya berusaha bersenang-senang sambil bernostalgia.  Sambil menaiki wahana yang dulu pernah mereka ikuti masih kecil.  Setelah puas bermain, Itachi mengajak wanita itu makan di kedai yang berada tak jauh di sana. Ia ingat dulu Akira suka sekali pada kentang goreng, dan ia pun tak lupa memesankannya untuk wanita itu.

Okaasan,” sebuah suara membuat Akira menolehkan kepalanya dengan cepat.  Ia nyaris saja tidak mempercayai penglihatannya begitu seorang anak laki-laki kecil berambut perak berlari ke arahnya.

“Hikaru,” Akira berlutut sambil menangkap anak laki-laki itu dalam pelukannya.  Rasanya ia sangat bahagia bisa memeluk putra satu-satunya itu, setelah sekian lama ia tidak bisa memeluknya.

“Akira, lepaskan Hikaru!” suara datar dan dingin itu membuat Akira melepaskan pelukannya, walau ia tidak benar-benar melepaskan Hikaru.  Ia dapati pandangan tajam menusuknya begitu ia mengangkat kepala.

“Kakashi,” katanya dengan napas tercekat.

Melihat Akira tak bergerak, Kakashi menarik Hikaru dari jangkauan Akira.  “Sudah kukatakan, jangan pernah muncul dihadapan Hikaru!”

Okaasan,” anak berumur lima tahun itu mulai menangis mendengar nada suara ayahnya yang mulai meninggi.

“Hikaru,” jerit Akira.  Wanita itu lalu mencengkeram lengan Kakashi.  “Kakashi, kumohon padamu!  Berikan Hikaru padaku!”

“Menyingkir Akira!” perintahnya.  Akira tetap mencengkeram lengan pria itu, sampai akhirnya Kakashi menyentakkan tangannya hingga Akira termundur dan hampir saja terjatuh jika saja tak ada seseorang yang menahannya dari belakang.

“Itachi-san,

“Kau tidak  apa-apa?” tanya pria itu.

Kakashi mendengus tak senang.  “Bagus, karena kau sudah memiliki teman kencan lebih baik kau urus saja dia.” Katanya dengan sinis.  “Aku rasa dia pun tidak ingin direpotkan oleh anak-anak.”

Medium

Musim semi sepuluh tahun yang lalu…

PRANG!!!

Suara gelas pecah membuat Sakura terlonjak.  Kepala gadis berambut merah muda itu tetap menunduk melihat pandangan marah ayahnya padanya.  Ia tidak tahu apa yang ia lakukan sampai dirinya dikeluarkan dari SMA untuk yang ketiga kalinya.

“Kau lihat apa yang telah kau lakukan?” Kizashi melemparkan surat dari kepala sekolah di hadapan Sakura.

“Aku tidak tahu.” Pekik Sakura.  “Aku tidak tahu apa yang aku lakukan sampai sekolah mengeluarkanku.”

“Diam kau!” bentaknya.  Pria paruh baya itu mendekati anak perempuannya sambil menunjuknya dengan jari telunjuknya.  “Jika kau sampai berbuat ulah lagi di sekolah barumu.  Aku tidak menyekolahkanmu lagi.  Camkan itu!”

Sakura menciut mendengar kata-kata ayahnya.  Setelah ayahnya mengusirnya untuk kembali ke kamar, gadis itu tidak berpikir dua kali.  Ia kunci pintu kamarnya dengan kasar dan berlari ke tempat tidurnya.  Sambil terisak ia meraih botol obat tidur yang berada di meja samping ranjang dan mengeluarkan dua butir obat itu lalu meminumnya.

Sudah cukup untuk hari ini, batinnya begitu kesal.

Medium

Gadis berambut merah muda itu melangkah dengan santainya melewati koridor sekolah sambil menghisap rokoknya.  Beberapa siswi memandangnya dengan mencela, dan ada pula yang bersiul tepat di depannya.  Gadis itu adalah Sakura, tapi dia bukan benar-benar Sakura.

“Hei kau!” suara seseorang membuatnya berhenti dan menengok.  Seorang gadis pirang menghampirinya dengan kesal.  “Tidakkah kau tahu ada peraturan dilarang merokok untuk murid?”

Sakura menghembuskan asap rokoknya di depan gadis pirang itu.  Gadis pirang itu terbatuk lalu mendorong Sakura.  Sakura yang tidak terima diperlakukan seperti itu balas mendorongnya.

“Sialan!” seru gadis pirang itu tak terima.  Ia berdiri hendak membalas Sakura, namun Sakura menyodorkan rokok itu ke arahnya sehingga membakar beberapa helai rambut pirangnya.  Ino mendorong Sakura dengan keras sehingga gadis itu jatuh.

“Cukup Yamanaka!” seseorang menghentikan mereka yang sudah menjadi tontonan di koridor.

Gadis bernama Yamanaka Ino itu terbelalak begitu melihat pemuda yang menjadi rebutan gadis-gadis meraih Sakura dan memeluknya.  Ino mengerjapkan matanya tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.

“Bangunlah Sakura, sudah tidak apa-apa.” Bisik pemuda itu sambil mengecup wajah Sakura berulang kali. “Kumohon, bangun Sakura…”

What the…?” Ino mengumpat melihat adegan itu. “Uchiha Senpai,”

Sakura yang tersadar bahwa ia dicium oleh Sasuke segera mendorong pemuda itu.  “Apa yang kau lakukan, Sasuke?” katanya dengan marah.

“Oh baguslah jika kau sudah sadar.  Jangan membuat hari pertamamu menjadi hari terakhirmu di sekolah ini.”

Sakura memandang berkeliling dan membelalakan matanya begitu ia tidak mengenali tempat itu.  Beberapa pandang mata memandangnya dengan penuh tanya dan cela.  Tak memiliki pilihan lain, ia membiarkan dirinya dibawa oleh Sasuke.

Medium

“Mau kemana?” tanya Sakura begitu melihat Akira menyisir rambutnya ke samping.  Berbeda dengan Sakura yang memperlihatkan dahi lebarnya dengan rambut sebahu, Akira lebih senang memanjangkan rambutnya dan menutup separuh dahinya dengan rambut merahnya.

“Aku akan menemui Gaara,” katanya menyebut nama salah satu sepupu mereka.

Sakura mengangkat alis.  “Untuk apa?” tanyanya.

“Aku harap dia mempekerjakanku.  Aku tidak bisa diam saja dan terus meratapi nasibku.”

Sakura menghela napas.  “Yah, tentu saja.” katanya tak yakin.  “Gaara pasti akan senang.  Tapi, bukankah kalian hanya bertemu sekali saat kita masih kecil?”

Akira tersenyum.  “Dia pernah menjadi rekan bisnis Kakashi.”

“Oh, kukira kau tidak pernah bertemu dengannya lagi.”

“Waktu aku masih bersama Kakashi, pria itu membawaku ke salah satu pesta orang-orang kaya itu,” Katanya sambil menghela napas.  “dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya.  Malah, dia yang mengenaliku lebih dulu.”

“Oh baguslah.  Aku hampir saja akan menelepon Gaara.”

“Aku sudah meneleponnya duluan pagi ini, dan dia berharap aku menemuinya di kantor.”

Sakura mengangguk puas.  “Baiklah.” Katanya sambil melirik jam tangannya.  “Aku rasa aku pun harus cepat-cepat.  Hari ini ada pemotretan lagi.”

Medium

Musim dingin sepuluh tahun yang lalu….

“Berhenti meminum obat tidur!” kata pemuda Uchiha itu dengan tegas.

Sakura memegangi kepalanya yang terasa pusing.  “Diamlah Sasuke! Kau bukan ibuku.”

“Aku memang bukan ibumu, tapi ibuku memintaku untuk menjagamu.”

Sakura terhenyak.  Mengingat ibu Sasuke, ia jadi teringat ibunya sendiri yang sudah tidak ia temui sejak kecil.  Bagi Sakura, Mikoto terlihat menyayangi dan mendengarkan keluh kesahnya lalu memeluknya dengan kasih sayang seorang ibu.  Air mata Sakura tergenang begitu mengingatnya dan ibunya sendiri.

“Hari ini ibuku akan kembali dari Amerika.  Dia sudah sangat merindukanmu.” Katanya.  “Kau mau menemuinya, kan?”

Sakura menundukkan kepalanya.  Gadis itu lalu mengangguk.  Sasuke mengangguk pelan dan mengusap kepala gadis itu.  “Jangan menangis lagi!” katanya.  “Jika kau menemui ibuku dengan wajah habis menangis, dia pasti akan memarahiku.”

Sakura mengerjapkan matanya.  “Siapa yang menangis?” bantahnya dengan keras.

Sasuke tertawa pelan dan keluar dari klinik sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.  “Oya, Yamanaka ingin bicara denganmu.”

Sakura termenung.  Ia mengernyit heran karena ia merasa tidak begitu akrab dengan gadis itu.  Tak lama kemudian, gadis berambut pirang itu muncul dan menyapanya.  Yamanaka Ino duduk dengan canggung di sisi tempat tidur itu sambil memandang Sakura yang terbaring.

“Kau tidak apa-apa?” katanya.

Sakura mengangguk.  “Sudah lebih baik.” Jawabnya pendek.  Tiba-tiba ia teringat pada cerita Sasuke tentang pertama kali ia masuk ke sekolah ini.  “Maafkan aku.  Kudengar dari Sasuke, aku membakar rambutmu.”

“Oh,”  katanya pelan.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi hari itu.  Tiba-tiba saja aku sudah berada di sekolah baruku.”

Ino terdiam sambil memandangnya dengan pandangan menilai.

“Entahlah, menurut dokter yang menanganiku katanya aku memiliki… oh apa itu bahasa ilmiahnya… yah biasa disebut kepribadian ganda, mungkin?”

Ino mengangkat alisnya sedikit terkejut.  “Kepribadian ganda?”

Sakura mengangguk.  “Aku tidak terlalu mengerti. Tapi, itulah yang mereka katakan.  Maka dari itu kadang beberapa kali aku tidak ingat apa yang terjadi padaku sampai membuatku melakukan hal-hal tak wajar.”

“Benarkah?  Seperti apa hal-hal tak wajar itu?” tanya gadis itu penasaran.

“Aku tidak begitu ingat.” Kata Sakura sambil mengernyit.  “Terakhir kali, kudengar dari seseorang yang datang melabrak ayahku katanya aku hampir membakar rumahnya.”

Mata Ino terbelalak.  “Sampai seperti itu?”

Sakura mengangguk lagi.  “Yah seperti itulah.  Mungkin lebih baik kau menjauh dariku.  Siapa tahu aku akan melakukan hal yang lebih parah lagi.”

Ino terlihat berpikir.  “Tidak apa-apa.” Katanya.  “Aku lebih menyukai tantangan.”

Sakura membelalakan matanya.  “Apa maksudmu?”

“Kita berteman, Sakura.” Katanya sambil mengulurkan tangannya.

Sakura hanya membelalakan matanya dengan lebar.  Hari ini adalah pertama kalinya seseorang ingin mengajaknya berteman.  Terlebih lagi, seorang perempuan.

Medium

“Wah wah… model terkenal sekarang sudah jarang sekali menemuiku saking sibuknya.” Kata Ino sambil melipat kedua tangan di depan dada, berpura-pura kesal.

Sakura tertawa sambil mengambil tiga tangkai Lily. “Ayolah Ino.  Kau kan cantik, tidak pantas berwajah seperti itu.”

“Uh sial,” katanya sambil tertawa. “terakhir kali kulihat lagi-lagi kau bertengkar dengan Uchiha Senpai.  Kapan sih kau bisa akur dengannya? Aku yang melihatnya saja sampai bosan.”

“Dia yang selalu mengikutiku seperti stalker.  Aku kan jadi kesal.”

“Tapi dia melakukan itu karena menyukaimu.”

“Tidak ada bukti yang bagus untuk kau sodorkan padamu selain kata-kata itu selama delapan tahun terakhir.” Katanya sambil memutar bola mata bosan. Ia ambil beberapa tangkai Lily yang dipilih Sakura dan membungkusnya dengan cekatan.

“Kau harus percaya padaku.”

“Kau juga harus percaya padaku bahwa Naruto juga pantang menyerah.”

Raut wajah Ino tiba-tiba berubah. Ia berbalik sambil berpura-pura mengambil pita untuk membungkus Lily itu.  Setelah bunga yang dipesan Sakura siap, ia melemaskan wajahnya dan berbalik dengan menunujukkan senyum cerianya sambil berharap Sakura melupakan apa yang baru saja dibahasnya.

“Ini.  Kuharap Akira-san mulai betah di rumahmu.”

“Ya tentu.  Kapan-kapan berkunjunglah.”

“Tentu saja.” katanya dengan ceria, berusaha menutupi luka hatinya.

Medium

Tadaima,” Akira melepaskan sepatunya.

Okaerinasai, Akira.”

Mendengar suara berat pria tua membuat Akira membelalakan matanya.  “Otousama?” serunya melihat Sakumo yang muncul menyambutnya.

“Sakura baru saja pergi berbelanja.  Kudengar kau bekerja pada sepupumu.”

Akira mengangguk sambil menaruh sepatunya di rak, lalu memakai sandal yang tersedia di sana.  “Maaf aku tidak sempat memberitahumu.”

“Tidak apa-apa lagipula aku kemari karena ada urusan mendadak.”

“Oya?  Apa itu?” tanyanya setelah melepaskan mantelnya.

Sakumo mempersilahkannya untuk ke ruang tengah dimana televisi terdengar menyala.  Akira melangkah ke sana sambil mengernyit heran.  Tak lama kemudian, Sakumo menarik seorang anak berumur empat belas tahun memakai seragam hitam khusus SMP.  Akira terbelalak tak percaya melihat anak itu.  Anak laki-laki berambut perak dengan mata onyx yang begitu mirip dengan mata kanan Kakashi.

“Perkenalkan, namanya Gin.” Kata Sakumo dengan tenang.

“Aku harap kau mau menandatangani surat adopsinya dan membiarkan dia tinggal di sini.  Kuharap kau bisa menjadi ibu angkat yang baik.”

Akira selama beberapa saat tak bisa berkata-kata begitu melihat wanita yang mengikuti Kakashi sejak pria itu kembali dari Amerika berada di sana.  Memandangnya dengan pandangan tajam dan menakutkan.

To be continue…

Terima kasih untuk yang kemarin merespon fanfict Audene.  Senang sekali rasanya dapat respon yang positif untuk fanfict amatir yang panjang itu.  Itu adalah fanfict dengan chapter terpanjang yang pernah saya buat.  Sekali lagi terima kasih, karena berkat komen-komen kalian saya yang sering murung tiap di kampus kayak orang sakit jadi senyam-senyum #uhuk-dosen-ganteng-baru-lewat.  Nah ini fanfict yang saya janjikan itu.  Sedikit banyak terinspirasi dari K-drama Master’s Sun, itu drama favorit saya.  Tapi, saya berusaha untuk tidak menyamai dramanya toh saya nggak mau nanti fanfict ini dianggap recaps drama yang diganti nama chara-nya.  Sampai jumpa chapter depan ya.  Maaf nggak bisa menjanjikan untuk jadwal publish-nya.

3 responses to “Medium (Chapter 1)

  1. alurnya campuran.. sedikit bingung pas pertama kali baca^~^
    tapi sekarang udah jelas.
    Kereen.. Master sun, drama korea favoritku ditambah lg kakashi yg jadi pelindungnya.
    Waaaah seru nieh ^_^

  2. hellooo^^ apa ini sudah ada lanjutannya atau bahkan sudah tamat?
    anyway, wanita yg menatap akira siapa? haqanya horror kalo di imajinasi saya ;v

  3. Ooo, masih ga maksud sm ceritanya thor…
    Next chap ditunggu ya, kalo bisa secepatnya…
    Tetep keep writing thor 😀

Tinggalkan komentar