Audene (Chapter 14)

Summary: Pertunjukan musik pada musim gugur dimulai.  Sebuah kejutan menanti Hinata.  Ada yang tidak beres dengan Yuka.

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto & Hakkenden: Touhou Hakken Ibun © Abe Miyuki

Inspired by Mei-chan no Shitsuji & Hakkenden: Touhou Hakken Ibun [Jangan heran kalo ada kesamaan cerita, tapi saya usahakan untuk tidak menyamai]

Warning: Alternative Universe, OC, OOC

Hinata memandang gadis itu dengan tak percaya.  “Bu-bukankah kau sepupunya?”

Saki tersenyum.  “Aku tahu.” Gumamnya.  Ia memejamkan matanya sambil menghirup udara disekitarnya dalam-dalam.  “Setelah kematian Sai, ia datang dan menemaniku setiap hari.  Saat itu aku merasa jatuh cinta padanya dan mulai mengejarnya sampai kemari.  Tapi, begitu melihatnya yang menyukaimu, aku merasa kesal sekali.”

Hinata agak tersentak ketika Saki memandangnya tajam.

“Kenapa kami harus ditakdirkan sebagai sepupu? Kenapa dia sama sekali tak melihatku?  Kenapa dia begitu menyukaimu?”

Go-gomennasai!” Hinata membungkuk rendah pada Saki.

Saki yang melihat itu langsung tertawa geli.  Hinata yang mendengar tawa Saki menegakkan kepalanya dan memandangnya tak mengerti.

“Kau… seperti yang kubayangkan.” Lagi-lagi gadis itu tertawa.

“Eh?”

Saki tersenyum. “Warui na,  sebenarnya itu bukan kesalahanmu.  Yah, lagi pula tidak setiap keinginanku terpenuhi, terutama yang mustahil seperti itu.  Sebetulnya, pernikahanmu dengan Taruho akan menguntungkanku.”

Hinata terperanjat mendengarnya.

“Tapi, aku tidak melakukannya.” Lanjutnya dengan tenang.  “Mungkin jika kejadian seperti ini terjadi beberapa bulan yang lalu, aku pasti akan menyambar peluang ini.”

Dengan sedikit canggung Hinata berkata, “La-lalu?  Kenapa kau terlihat seperti mencoba mengagalkannya?”

“Kenapa ya?” Saki menghela napas sambil berpikir.  “Mungkin karena…. pertama, aku tidak suka dengan seorang wanita yang mengatur pernikahan ini.  Kedua, aku tidak mau melihat Naruto sedih, dia terlalu terkejut sampai rasanya sulit untuk melakukan apa-apa.  Dan yang terakhir…”

Hinata memandangnya dengan penasaran.  Menunggu gadis itu untuk menjawab lanjutan dari pertanyaannya.

“…karena ada seseorang yang kutunggu untuk memberiku cincin.”

“Eh?  Memberimu cincin?”

Saki memandang Hinata sambil tersenyum lebar. “Sou, cincin untukku menikah.”

Dare desuka?

Saki tertawa.  “Kau sebenarnya tak tahu atau berpura-pura tak tahu?”

Hinata ikut tertawa kecil mendengarnya.  “Jadi, apa yang digosipkan itu benar?”

Are?  Sejak kapan Hinata senang mendengarkan gosip?”

Audene

Okami (Nyonya), ini Hasegawa Saki.” Kobungo memperkenalkan Saki pada seorang wanita yang adalah ibunya.

Hajimemashite,” sapa Saki sambil membungkuk rendah padanya untuk memberi hormat.

Wanita itu terpekur sejenak dan memandang Saki dengan intens.  Ia tersenyum ramah.  “Gadis yang cantik.” Ujarnya.  “Genpachi tidak salah memilih seorang gadis.”

Saki menundukkan kepalanya dengan wajah yang memerah.  Ia tersenyum malu-malu pada wanita itu.  “Aku tidak tahu bahwa Genpachi bercerita tentangku pada keluarga angkatnya sampai Kobungo mengatakannya padaku.”

Aa, kami ingin mengenalmu.  Kudengar Genpachi sudah melamarmu, bukan?”

“Oh, itu…” Saki menggaruk kepalanya yang tidak gatal.  Ia kelewat gugup untuk mengatakannya.

“Ah, aku sudah menyiapkan makan malam.  Silahkan,” wanita itu melangkah duluan masuk ke dalam rumah.

Saki memandang Kobungo sambil meringis, sedangkan pria itu menariknya untuk masuk. Kobungo membuka pintu masuk dan mempersilahkan Saki duduk.   Namun, Saki yang lebih tertarik pada foto menghampiri beberapa frame foto yang terpajang di meja.

“Ini kah, Nui-san?” tanya Saki sambil menunjuk potret seorang gadis yang tengah tersenyum.

Aa,”

“Dia begitu cantik.” Ujarnya dengan pandangan sedih, menyayangkan gadis secantik Nui harus pergi seperti itu.

Kobungo mengangguk pelan dengan muram.  Saki lalu duduk dan tak lama kemudian, ibu Kobungo datang bersama suaminya dan mereka memulai makan siang itu sambil diselingi obrolan.  Ibu Kobungo pun bercerita bahwa keluarga mereka memiliki bisnis penginapan yang bernama Konaya, sama dengan nama asrama tempat Saki tinggal.

“Bagaimana denganmu?” tanya Konaya Okami.

“Aku… orang tuaku memiliki perusahaan yang bergerak dalam bidang game.   Dulu kami bekerja di sana, bahkan kakak perempuanku masih bekerja di sana.”

“Kau pernah bekerja di sana?”

Saki mengangguk.  “Ya, aku pernah menjadi programer di sana.  Aku baru saja berhenti tahun lalu.”

“Apa orang tuamu tidak apa-apa?” tanya Inukai Jisan.

Mereka tidak apa-apa.  “Malah mereka yang mendorongku untuk berkerja di sana.”

Kedua orang tua Kobungo membatin tak senang mendengarnya.

“Kau memiliki saudara?” tanyanya.

“Ya, kami tiga bersaudara.” Jawabnya. “Kakak tertuaku berumur dua puluh delapan tahun.  Lalu kakak laki-lakiku berumur dua puluh lima tahun.  Dan aku yang terakhir.”

“Begitu?” ujar Konaya Okami pelan. “Sekarang, dimana mereka?”

“Kakak perempuanku sekarang tinggal di Suna bersama suaminya.”

“Lalu, kakak laki-lakimu?”

Saki terdiam sejenak.  “Dia meninggal.”

“Oh, sayang… aku turut menyesal mendengarnya.” Ujar Konaya Okami.

“Tidak apa-apa.  Lagi pula itu sudah lama sekali.”

“Pasti kau dekat sekali dengannya.”

Aa,” Saki mengangguk.  “Yah, dia sering memberiku banyak hadiah setiap ia menjengukku.”

Audene

“Maaf, aku tak tahu kakakmu juga sudah meninggal.” Ujar Kobungo dengan menyesal.  Mereka tengah berada dalam perjalanan kembali menuju Audene.

Saki mengibaskan tangannya.  “Tak apa.  Lagi pula itu sudah dua tahun yang lalu.”

“Yah, aku pun benar-benar minta maaf karena membiarkan ayah dan ibuku bertanya banyak padamu.”

“Sudah kukatakan, itu bukan masalah buatku.  Kau tidak perlu secemas itu, Kobungo.”

Warui,” gumamnya.  “aku hanya terlalu terbawa perasaan karena kita sama-sama kehilangan saudara.”

Saki mengangguk dengan wajah muram. “Yah, begitulah.”

“Nah, sebagai permintaan maafku.  Aku akan memasakan makan malam yang enak untukmu.  Kau ingin apa?” tawar Kobungo.

Saki menggeleng.  “Tidak perlu, aku malam ini akan tidur di rumah Genpachi.”

“Kalau begitu, aku antarkan makanannya ke sana.”

“Ah, sungguh tidak perlu.  Yah, walaupun sebenarnya aku berharap kau memberiku nilai A di kelas memasak.”

“Tidak mungkin!” Kobungo membuat tanda silang dengan kedua tangannya.

Saki tertawa dengan keras.  “Baiklah-baiklah, aku ingin pasta yang waktu itu.”

Audene

“Hinata-san, ayo kita makan siang di taman Athena.” Ajak Taruho sambil tersenyum.

“Ah, aku…” Hinata menundukkan kepalanya, matanya bergerak tak tentu arah.

Kiba berdeham, pemuda itu maju untuk menghadap Taruho.  “Maaf Taruho-san, Hinata-sama sedang tidak enak badan hari ini.  Jadi, mungkin dengan makan siang bersama teman-temannya dia akan merasa lebih baik.”

“Benarkah?  Bukankah seharusnya kau sebagai pelayan mengantarnya ke klinik daripada membiarkannya bersama teman-temannya yang sama sekali tak tahu kondisinya?”

Kiba terdiam.

“Aku akan melaporkan ketidak-becusanmu dalam menjaga Ojousama-mu pada Osaki-sama, terlebih lagi dia adalah tunanganku.”

“Teruslah melapor dan kau akan dicap pengadu.” Balas Saki.

Naruto berjalan melewati Saki dan membungkuk pada Hinata.  “Mari kuantar kau, Hinata-sama.”

Taruho hendak membuka mulut. Namun Saki cepat-cepat menyela, “Aku yang meminta Naruto untuk mengantar Hinata ke klinik, karena aku akan meminjam Inuzuka.”

Hinata memandang Saki dan Kiba tak mengerti.  Kiba yang mendengar itu hanya mengernyit heran sambil memandang Hinata penuh tanya.  Taruho tersenyum melihat kebingungan yang menyelimuti mereka.

“Kurasa itu hanya bualanmu untuk membuat Hinata-san berduaan bersama Namikaze.” Ujar Taruho sambil tersenyum mengejek.  “Melihat kebingungan Hinata-san dan Inuzuka saat mendengar ucapanmu membuatku berpikir kau hanyalah asal berucap tadi.”

“Oya?  Entah mengapa aku merasa tidak asal berucap.” Jawabnya balas mengejek sambil mengibaskan rambutnya.  “Bukankah aku baru tadi meminta ijin pada Hinata untuk meminjam Inuzuka?  Perbaikilah cara otakmu untuk memproses!  Apa karena selalu bersama wanita kau jadi terpengaruh racunnya?”

“Jangan menghina Shion-sama!

“Dan jangan mengganggu teman-temanku!  Katakan itu pada nona-mu!”

Taruho terdiam sambil memandang Saki dengan tajam.

Saki mengalihkan pandangan pada Naruto.  “Tunggu apa lagi?  Bawa Hinata ke klinik sesuai perintahku!”

“Ah, haik.” Naruto membungkuk rendah pada Saki dan membuka tangannya untuk memberi Hinata jalan.

“Ayo, Inuzuka!”

“Oh… ha-haik.” Kiba lalu mengikuti Saki yang berjalan di depannya.

Audene

“Yuka,”

“Ah, Saki.” Gadis berambut panjang itu tersenyum lemah.

“Kau kenapa?  Wajahmu agak pucat.”

Yuka menggeleng.  “Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit kelelahan.”

“Kau bekerja terlalu keras.”

“Tak apa.  Lagi pula aku tidak merasa terbebani.” Jawabnya dengan terburu-buru.  Gadis itu lalu mengajak Saki untuk duduk di teras rumah majikannya.  “Ada apa kau ke sini?”

“Kudengar kau akan bermain piano untuk pertunjukan musik klasik nanti?”

Yuka mengangguk, wajahnya berubah cerah saat mendengar itu.  “Ya, aku sangat menantikannya.”

“Yuka, aku ingin minta tolong padamu.”

“Eh?  Apa itu?” tanyanya penasaran.

“Yah, akan kumulai dari awal saja.” Lalu gadis itu mulai menceritakan semua hal yang terjadi akhir-akhir ini dan juga permintaannya untuk menjadi pianis.

“Tentu, tentu aku akan membantu Hyuuga-san.” Katanya dengan cepat.

Saki mengangguk.  “Dia masih pemula, kuharap kau bisa melatihnya sedikit.”

“Tak apa.  Aku hari sudah meminta ijin pada Daikaku-sama untuk absen bekerja selama beberapa hari.”

“Oh, terima kasih Yuka.  Aku tak tahu harus bagaimana lagi jika tak ada kau.”

“Kau tenang saja.  Aku yakin, ini akan berhasil.”

Mereka tersenyum.  Kepercayaan diri mereka timbul begitu saja.  Mereka meyakini bahwa ini akan berhasil seperti saat mereka melakukan pertunjukan drama bunkasai lalu.

“Pergilah, Inuzuka sudah terlalu lama menunggumu.”

“Ya, kurasa begitu.  Ada satu urusan lagi yang harus kuurus dengan Tsunade-sama.”

“Tsunade-sama?” pekik Yuka.

“Ya, ada apa?”

Yuka memandangnya tak percaya.  “Hanya orang-orang tertentu yang bisa menemuinya. Siapa kau sebenarnya, Saki?”

Saki tersenyum.  “Aku hanyalah sebagian kecil orang bisa ditemuinya kapan pun.  Jaa!

Yuka mengernyit heran.  “Mungkinkah?”

Audene

“Apa?  Bagaimana mungkin aku tidak bisa melakukan pertunjukan dengan dua team?” seru Yuka begitu akan mendaftarkan dirinya lagi beserta team barunya yang bersama Hinata.

“Maafkan aku,” ujar Tayuya, ketua penyelenggara.  “Lydia-sama yang memberi peraturan ini pada kami.”

“Oh…” Yuka memegangi kepalanya yang agak pening.  Tubuhnya yang tiba-tiba oleng ke samping segera ditahan Tayuya.

“Kau baik-baik saja?”

“Ya,” Yuka mengangguk kaku.  Entah mengapa tiba-tiba ia merasa mual.  “aku tak apa-apa.”

“Kau terlihat pucat.  Mau kuantarkan kau ke klinik Saiki Sensei?

Yuka menggeleng.  “Tak perlu.”  Ia lalu memandang Tayuya dengan memohon.  “Aku mohon padamu, berikan kesempatan Hyuuga untuk menyanyi.”

Tayuya memandangnya dengan wajah muram.  “Aku sungguh minta maaf.”

“Oh, baiklah.” Yuka berbalik dengan langkah pelan.

“Ah, matte!” seru Tayuya tiba-tiba.

“Ada apa?” tanya Yuka cepat-cepat begitu mendengar seruan itu.

“Aku rasa Hyuuga-san bisa tampil bersamamu.”

“Benarkah?  Bagaimana caranya?”

“Kau sudah memiliki team bukan?”

“Ya, tentu.” Jawabnya.

Tayuya mendekatinya dan berbisik tepat di telinga Yuka.  “Masukan dia ke dalam team-mu, sebisa mungkin kau atur agar dia bisa menyanyi setelah Hasegawa.”

Mata Yuka berbinar-binar.  “Tentu.” Jawabnya dengan lirih.  “Bodohnya aku tak memikirkan itu.”

Tayuya mengangguk.  “Tak ada peraturan yang melarang pergantian anggota team di tengah-tengah pertunjukan.  Aku yakin, anggota dewan murid pun tak akan mungkin menduganya.”

Yuka mengangguk.  “Terima kasih Tayuya.”

“Tentu saja, Senpai.”

Audene

“Oh, aku jadi mual.” Gumam Yuka begitu melihat orang-orang dari luar Audene mulai berdatangan menuju aula.

“Kau gugup, eh?” tanya Ino.

“Oh entahlah.  Bagiku ini adalah saat yang menegangkan.  Yah, terutama untuk Hyuuga-san.” Ujar Yuka.

Saki yang berdiri di samping Ino memandang Hinata yang sedang duduk di bangku taman dengan lutut gemetaran melihat orang-orang itu.  Ketiga gadis itu memandangnya prihatin.  Yuka lalu beranjak dan duduk di sampingnya.  Hinata memandang Yuka dan tersenyum dengan wajah yang memerah.

Yuka memegang kedua tangan Hinata dengan lembut.  “Mo… Moritani-san?

Yuka menggeleng.  “Panggil aku Yuka.” Ujarnya lembut.

“Yu-Yuka… san,” katanya dengan terbata-bata.  “Arigatou…”

“Tentu.”

“A… aku…”

“Tahukah kau bagaimana cara mengatasi demam panggung?”

Hinata menggeleng.

“Bayangkanlah tempat dimana kau bernyanyi seperti biasanya.”

“Eh?”

“Kau pasti memiliki tempat seperti itu, bukan?”

Hinata mengangguk dengan kaku.  “Da… danau Ace.”

“Danau Ace?” Yuka mengangguk paham.  “Cobalah kau bayangkan, orang-orang yang menontonmu itu adalah air yang selalu kau lihat saat berlatih di sana.  Kau pasti bisa, Hinata.”

Mata Hinata berbinar-binar.  “Arigatou, Yuka-san.”

Saki dan Ino saling pandang lalu ber-high five.  Mereka berdoa dalam hati agar pertunjukan mereka tak ada hambatan.  Mereka tak akan membiarkan salah satu teman mereka sedih.  Tak akan.

Audene

Yuka merapikan roknya setelah duduk di depan sebuah grand piano hitam yang biasa ia mainkan saat pertunjukan musik pada musim gugur.  Gadis itu tersenyum hangat pada Ino yang sudah siap dengan violin berwarna putihnya dan Saki yang berada di depan microphone.

Hikarusasu mirai shinjite hoshii (Kuingin kau meyakini masa depan yang bercahaya)’ sebaris lirik dari lagu Unmei no Ori yang dimulai Saki membuat Ino mulai menggesekan violinnya dan Yuka mulai memainkan jemarinya yang lihat di atas tuts-tuts piano.

Semua terhanyut dalam suara violin Ino yang memainkannya sambil sedikit menari di atas panggung.  Sakura terpekik takjub sambil tetap mempertahankan handycam yang ia genggam untuk merekam mereka.  Gaara yang duduk tak jauh di sana tak bisa melepaskan pandangannya dari Ino, bahkan setelah lagu itu selesai pun, ia tetap memandang gadis itu.

Unmei no Ori (Penjara Takdir),” Saki memulai speech dengan tenang seakan-akan mengobrol dengan temannya yang lain.  “Aku mendengar lagu ini sejak berita Hyuuga Hinata-san akan segera menikah.”

Beberapa orang tertawa mendengarnya, namun banyak dari mereka mulai berbisik dan membicarakan fakta itu.

“Hei, itu tidak lucu!” seru Saki seakan-akan mengobrol dengan mereka, namun lagi-lagi terdengar gelak tawa bergema di aula.  “Oke, kita kembali lagi.  Saat pertama kali aku mendengar lagu ini, aku terus berpikir dan bertanya-tanya.  ‘Mengapa gadis itu harus terpenjara dengan takdir yang tak diinginkannya?’  apakah kalian berpikir seperti itu juga?”

Bisikan orang-orang terdengar begitu Saki mengangkat alis dan memandang mereka.

“Lalu, seperti di dalam lirik itu aku mencoba menjadi pahlawan.” Jawab Saki sambil terkekeh.  Lagi-lagi terdengar suara tawa pelan dari beberapa penonton. “Mungkin sikap ‘sok pahlawan’-ku ini menjengkelkan orang lain, tapi aku benar-benar menikmatinya.”

Tayuya yang berada di sisi lain panggung menggerakkan tangannya untuk memberi isyarat agar pertunjukan musik kembali dilanjutkan.  “Oh, baiklah karena Tayuya-san sudah tidak sabar, aku ingin menyampaikan sebuah pesan.” Ujarnya masih mengabaikan Tayuya dan orang-orang di samping panggung yang mulai tak sabaran.  “Hyuuga Hinata, jika kau berada dalam penjara takdir itu maka ijinkanlah aku untuk menarikmu keluar dari sana.  Pertunjukan terakhir sebuah cover Hana’s Eyes yang dipopulerkan Maksim Mrvica oleh Moritani Yuka dan Hyuuga Hinata.”

Semua orang bertepuk dengan saling bertukar pandang heran mendengarnya.  Setelah Saki meninggalkan panggung, Yuka mulai memainkan piano dan Ino dengan perlahan menggesek violinnya dengan mata terpejam.  Hinata melangkah dengan ragu ke arah stand mic dan menarik napas sambil memejamkan mata saat memulai bagiannya.

Ia menanamkan pikirannya bahwa ia tengah berada di danau Ace, berlatih.  Ini sebuah lagu tanpa lirik, batinnnya.  Ia hanya mengeluarkan suaranya dengan lembut sambil mengatur nada yang pas dengan kedua alat musik yang tengah dimainkan.

“Dimana dia berlatih?” bisik Naruto dengan takjub.

Kiba menggeleng.  “Wakaranai,”

Suigetsu bergidik.  “Suaranya membuatku merinding.”

Karin menyikut lengan pemuda itu untuk menyuruhnya diam.

Hanabi mengepalakan tangannya di depan tubuhnya sambil mengangguk  menyemangati.  “Ganbatte, Oneechan!

Setelah dentingan terakhir dari grand piano berhenti, semua orang bertepuk tangan.  Hinata memandang gugup pada orang-orang yang berdiri memberikan applause pada mereka bertiga.  Yuka, Saki, Ino dan dirinya membungkuk memeberi hormat dan kembali ke backstage.  Hinata mendapat sambutan yang ramai dari teman sekelasnya.

Arigatou, minna.”

Oneechan, sugoi~” pekik Hinata sambil terlonjak-lonjak dalam gendongan Lee.

“Hinata,”

Semua terdiam begitu suara berat seorang pria memanggil Hinata dengan tak senang.  Hanabi menutup mulutnya tak percaya.  Lutut Hinata terasa lemas begitu pria itu berada dihadapannya.

O… otousama,”

“Hisahi,”

“Minato?”

Semua mata memandang kepala keluarga Hyuuga itu dan pemimpin keempat Konoha.  Semua menahan napas begitu kedua pria paruh baya itu berhadapan di sana saling melemparkan pandangan dengan tajam.  Naruto yang hendak menghampiri ayahnya langsung ditarik Gaara.

“Apa yang…?”

Gaara menggeleng memperingatkan sambil memandang kedua orang tua itu.

“Aku sudah menemui pemimpin Oni no Kuni, kami sudah sepakat bahwa pernikahan Hinata dengan pemuda itu untuk minggu depan dibatalkan.” Ujar Namikaze Minato dengan tenang.

“Tapi…”

“Tidak apa-apa.  Untuk urusan itu, serahkan saja padaku.”

Hyuuga Hiashi tidak berkutik lagi setelah mendengar itu.  Ia lalu menghela napas dan mengangguk.  “Baiklah,”

Semua menghembuskan napas lega, terutama Hinata dan Naruto.  Minato yang melihat wajah lega putra tunggalnya tersenyum.  Naruto mengangguk penuh terima kasih pada ayahnya.

Yokatta Hinata,” ucap Saki.

Arigatou, Saki-san.” Ucap Hinata dengan mata berkaca-kaca.  “Kau benar-benar mengeluarkanku dari ‘penjara takdir’.”

“Kau mengutip kata-kataku.”  Saki terkekeh.

Minato lalu undur diri dan yang membuat Saki heran adalah ia melihat Minato yang mengangguk singkat pada Gaara.  Gaara pun membalas anggukan itu seakan-akan Minato adalah rekannya.  Minato berbalik dan sempat berpapasan dengan Hatake Kakashi di pintu.  Sensei mereka berjabat tangan dengan pemimpin Konoha itu dan bergegas menemui Hiashi yang masih mematung di sana.

“Bisakah kita bicara Hyuuga-san?

Audene

Hinata menekan kedua tangannya dengan gugup.  Kakashi tadi membicarakan dirinya yang akan masuk kelas akutansi tahun depan.  Hiashi memasang wajah dinginnya begitu mendengar ketidak setujuan Kakashi untuk keputusan Hinata yang dirasakannya terlalu dipaksakan.

“Apa salahnya jika itu kemauannya?” balas Hyuuga Hiashi dengan geram.

“Aku rasa itu buka kemauan putri Anda.” Ujar Kakashi.  “Yuki-san, guru pemimpin kelas seni musik begitu terkesan dengan bakat yang dimiliki Hinata.  Ia menyarankan agar Hinata lebih baik masuk ke kelas seni musik, sesuai dengan bakat yang dimilikinya.”

“Aku tidak akan mengijinkan.” Bentaknya.  “Jika kalian ingin bersikeras memasukannya ke kelas musik, maka lebih baik aku memindahkannya ke sekolah lain.  Aku tidak akan membiayainya sepeser pun jika kalian tetap bersikeras memasukannya ke kelas itu.”

Hinata mematung mendengar itu.

Suara ketukan pintu terdengar.  Kakashi lalu membukakan pintu dan mempersilahkan ketiga orang yang menunggu di depan pintu itu masuk.  Kakashi menutup pintu dan mengernyit heran begitu melihat pemilik sekolah beserta seorang pengacara sekaligus staf pengajar dan asistennya mendatangi ruangannya.

Hisashiburi, Hyuuga Hiashi.”

Hiashi terkejut melihat wanita itu.  “Tsunade?”

Hinata yang mendengar itu terkejut dan membungkuk hormat dengan gugup. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan Tsunade yang tak pernah menunjukkan dirinya di depan murid-murid Audene Gakuen.  Ia tak menyangka bahwa wanita pemilik sekolah ini begitu sangat cantik.

“Kau pasti Hinata yang dibicarakan Yuki-san.”

Hinata terperangah dan memandang wanita bermata biru yang berdiri di samping Kakashi tersenyum padanya.  Ia menganggukkan kepala dengan gugup.  Hiashi memandang Tsunade dengan penuh tanya.

“Oh, aku kemari ingin menyampaikan keinginan cucuku.  Bisa kau katakan padanya, Dosetsu?”

Haik, Tsunade-sama.” Jawabnya.  “Aku mewakili klienku, ahli waris dari pelukis terkenal Sai.  Ia begitu terkesan dengan bakat yang dimiliki Hyuuga Hinata-san, dan memberikan sebagian hartanya untuk pendidikan Hinata dalam bentuk sebuah beasiswa.”

“Apa?” pekiknya geram.  “Apa dia pikir aku tak mampu untuk membiayai sekolahnya, begitu?”

“Ah tidak,” bantah Dosetsu cepat-cepat sambil membenarkan letak kacamatanya.  “Ia dengar Hinata-san akan masuk kelas Akutansi di tahun berikutnya, maka dari itu dia berpikir bahwa Hinata-san lebih layak berada di kelas seni musik daripada ia membuang bakatnya.”

“Aku akan senang sekali mengasah bakat Hinata-san di tahun berikutnya.” Ujar wanita bermata biru itu.

Hiashi menggeram.

“Maafkan atas kelancangan cucuku, Hiashi.  Dia memang keras kepala.  Tapi, aku yakinkan satu hal padamu bahwa ia sama sekali tidak ingin menyinggungmu.  Ia hanya ingin melihat Hinata berkembang lagi.”

Hiashi menghela napas.  “Baiklah.”

Otousama,”

“Lakukan sesukamu.” Gumamnya pada Hinata.  Ia lalu memandang Dosetsu.  “Aku menolak beasiswa itu.  Biar aku sebagai orang tuanya yang akan membiayai kelas seni musiknya.”

Hinata memandang ayahnya dengan ternganga. “Arigatou gozaimasu, Otousama.”

“Belajarlah dengan keras dan buatlah aku bangga padamu.”

Hinata menahan napas dan membungkuk rendah sambil mengusap matanya yang berair.  “Haik,”

Audene

“Terima kasih Yuka.”

Yuka mengangguk. “Ostukaresamadesu.” Jawabnya.  “Aku harus kembali ke The Dolls House.”

“Tentu.  Berhati-hatilah.”

Yuka mengangguk.  Saki baru saja akan berbalik untuk pergi ke Konaya sampai tiba-tiba ia melihat Yuka terjatuh di depannya dan tak sadarkan diri.

“Yuka!”

To be continue…

10 responses to “Audene (Chapter 14)

  1. Yuka hamil? Bagaimana bisa? Kok disini gadijelaskan ceritanya?
    Ehtapi gapapa si.seru juga kok ceritanyaa..hehehe~

  2. Akhrx pernikahan dibatalkan ttpi itu is hokage ad rhsia ap ya sma gara ??
    Yuka jg knp tiba2 pingsan ??
    Owww ,,, crtax mkn bikin pnsaran lnjt.

  3. Hinata… Keren… Akhir’a berani jg tampil nyanyi di dpn umun, Naruto sampe terkesima..
    Yes,, pernikahan’a batal.. Seneng.. Seneng..
    Yuka knapa? Hamil kah? Sama sapa? Daikaku ya… Wah,, wah..
    Ga ada Sakura-Sasuke di sini.. Genpachi jg blm pulang..
    Kereeeenn…

    Jia Jung

  4. ciee yang tadi abis nyanyi ^^
    ga jadi nikah pula, syukur deh..
    walaupun bapanya agak ga iklas juga..

    yuka kamu kenapa?
    Hamil…? masya…?
    ah.. yuka nakal, wkwkwk XD
    GWS sayoong :*

    Genpachi I miss you!
    kapan pulang? kasian anakmu *plakk!
    ini ceritanya mau sampe nikah?
    kalo bisa disampein yah.. kalo ga bisa harus bisa, ngatur dikit.. hehe 😀

    **yang chapter 12 & 13 itu Uname nya typo ya, hehe

    see you!

  5. Yuka kenapa tuh ??
    Akhirnya hinata Lepas dari taruho (ʃ⌣ƪ)
    Saki bener2 menjadi pahLawan buat temen2nya ..
    Ganbatte Saki (ง’̀⌣’́)ง

  6. Akhrnya prnikahannya d batalin,
    Emang hinata itu harusnya sma naruto..
    Yg bikin penasaran, ada apa sama minato dan gaara y?
    Tz si gaara kyknya makin suka sma ino..
    Wuaahh.. d tnggu chapter slanjutnya.. 🙂
    #tp syang gak ada sasusaku moment.. hehehe..

Tinggalkan komentar