Audene (Chapter 4)

Summary: Haruno Sakura dan Hasegawa Saki dipindahkan ke sekolah asrama oleh orang tua mereka.  Di hari pertama kedatangan mereka, keduanya terkejut mendengar peraturan bahwa setiap murid tingkat pertama harus memiliki pelayan pria.   Bagaimana dengan Sakura yang takut pada pria dan Saki yang tomboy menghadapi pelayan mereka dan serangan orang-orang yang ingin menyingkirkan mereka?

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto & Hakkenden: Touhou Hakken Ibun © Abe Miyuki

Inspired by Mei-chan no Shitsuji [Jangan heran kalo ada kesamaan cerita, tapi saya usahakan untuk tidak menyamai] & Hakkenden: Touhou Hakken Ibun & Detective Conan Episode Sonoko Dangerous Summer Story

Warning: Alternative Universe, OC, OOC

“Oi, tidak perlu membawa pengawal sebanyak ini hanya untuk Hanabi-sama.” Kata Naruto dengan tenang.  Ia melangkah ke depan dan berdiri di depan Lee seakan-akan menjadi tameng untuk mereka berdua.  “Kalian mengganggu ketenangan Audene Gakuen.”

“Kau yang orang luar tidak usah ikut campur.  Minna, bawa Hanabi-sama!

Beberapa pengawal mulai memegangi Naruto agar tidak mengganggu mereka.  Naruto dengan keahlian judo-nya mulai melawan mereka, sedangkan sebagian yang lain mencoba memisahkan Lee dan Hanabi.  Lee terus saja mendekap Hanabi dalam gendongannya walaupun beberapa orang sudah berusaha memeganginya, tapi tekad Lee untuk melindungi Hanabi sangat kuat.

“Oi, itu sangat tidak seimbang.” Seruan itu menghentikan kegiatan mereka.

“Saki-sama,” seru Naruto.

Saki tersenyum, tongkatnya sudah ia genggam dengan erat. Gadis itu tidak sendirian berada di sana.  Ia membawa Sasuke, Neji dan para shitsuji yang lain. “Jika ada yang mengganggu teman kami, maka kami tidak akan diam.”

“Kau lagi.” Gertak pengawal utama itu dengan kesal.

“Sepertinya di sini ada kesalah pahaman.” Saki mendekat ke arah Lee dan Hanabi lalu menyingkirkan tangan-tangan mereka yang hendak memisahkan shitsuji dari ojousama-nya. “Mungkin kita bisa bicara baik-baik.”

“Aku kemari hanya menjalankan perintah Hiashi Gosujinsama.”

“Dan yang akan kubicarakan nanti adalah tentang Gosujinsama kalian dan kebenaran dibalik perintahnya.”

“Apa yang kudengar sudah sangat jelas.  Kami diperintahkan untuk mempekerjakan Hanabi-sama dan membawanya pulang.  Jadi, kau lebih baik menyingkir saja!” pengawal utama Hyuuga itu mendorong Saki.

“Saki-sama,” seru Naruto melihat Saki terhuyung.

Namun tubuh Saki menubruk seseorang yang lebih tinggi dan besar darinya.  Baik para pengawal maupun shitsuji terkejut melihat seorang pria berpakaian kepolisian-militer berada di sana.

“Inukai Taichou,” Shikamaru, Suigetsu dan beberapa pemuda dari kelas kepolisian-militer berdiri tegak dan mengangkat tangan mereka ke pelipis untuk memberi hormat pada pria itu.

“Apa yang terjadi?”

Saki cepat-cepat menjauh dari pria itu dan mengabaikan ucapan Genpachi.  “Jadi, apa kalian mau ikut kami untuk meluruskan kesalah pahaman ini?”

Audene

“Baiklah, mari kita mulai.” Ujar Sasuke seakan-akan hendak memecahkan sebuah kasus pembunuhan.  Hatake Kakashi, wali kelas mereka dan Inukai Genpachi mengangguk melihat tatapan Sasuke yang tertuju pada mereka.  Sasuke menunjukkan sebuah kaset rekaman telepon.  “Sebelum kita mendengarkannya, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu, Ooba-san.”

“Apa yang ingin kau tanyakan?” Tanya pengawal keluarga Hyuuga itu.

“Bagaimana cara Hyuuga Hiashi memerintahkanmu untuk mengawasi Hanabi-san dan membawanya pulang?”

Ooba agak terkejut mendengar pertanyaan itu.  “Dia meneleponku dan memberikan perintah dengan tegas.”

“Apa yang meneleponmu Hyuuga Hiashi?”

“Bukan.  Tapi, seorang pria yang menjadi sekretaris Hiashi-sama.”

“Bisakah kau beritahukan aku nama pria itu?”

“Ogino. Ogino Satoru.”

“Lalu, dimana Hyuuga Hiashi saat kau menerima telepon dari Ogino-san?”

Pria itu terdiam sesaat lalu cepat-cepat menjawab, “Dia sedang pergi ke Jerman untuk pekerjaannya.”

“Dan Ogino-san?

“Dia berada di Konoha untuk mengatur jadwal Hiashi-sama yang terbengkalai karena kepergiannya ke Jerman.”

“Baiklah, mari kita dengarkan isi percakapan telepon ini.” Ujar Sasuke.  Ia memasukan kaset itu ke dalam tape player dan terdengar suara Neji dan suara berat seorang pria.

“Ah Neji, ada apa menelepon?” Tanya pria itu setelah selama beberapa saat berbasa-basi.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin menanyakan apakah Hanabi akan keluar sekolah?”

“Hanabi?  Apa dia terlihat ingin keluar sekolah?” Hiashi balik bertanya. “Aku kira dia ingin terus bersekolah di sana sampai selesai?”

“Tidak seperti itu.” Ujar Neji pelan.  “Hanya saja aku kira Ooba-san kemari atas perintahmu.”

“Apa?  Untuk apa dia ke sekolah itu?”

“Mereka mengatakan bahwa ini adalah perintahmu melalui Ogino-san.”

“Ogino?  Untuk apa dia mengatakan hal yang tidak benar seperti itu.  Apa ada masalah di sana Neji?”

Ojisama tenang saja.  Ini bukann masalah besar.”

Tak berapa lama kemudian Sasuke memutar rekaman suara Hyuuga Neji dengan Ogino-san, sekretaris.

“Ah, sebetulnya aku sendiri pun merasa heran.  Saat kembali ke kantor aku melihat surat itu ada di atas mejaku.”

“Kau tahu siapa yang mengirimnya, Ogino-san?

“Entahlah, aku pun tak melihat alamat pengirimnya.  Awalnya aku ragu-ragu untuk bertanya pada Hiashi-sama, tapi karena aku tak ingin mengganggunya berbulan madu kedua dengan istrinya jadi aku tidak berani menghubunginya.”

“APAAAA?” pekik Hanabi dan Hinata begitu mendengar percakapan itu.  Hinata tak percaya ayahnya membohongi Ooba-san tentang rencana bulan madu, sedangkan Hanabi kesal karena dirinya tak diajak.

“Baiklah, tenangkan diri kalian Hanabi, Hinata.” Ujar Kakashi.  “Apa ini semua sudah jelas?”

Ha… haik,” Ooba jadi terlihat gugup. “Gomennasai Hanabi-sama.”

Pria paruh baya itu mulai gugup dan meminta maaf pada mereka semua lalu pergi dengan terburu-buru.  Sakura yang sedari tadi terdiam lalu mendekati Hanabi.

Yokatta na, Hanabi-chan.”

Arigatou Sakura, Saki.” Hanabi memeluk mereka.

Sakura menggeleng.  “Seharusnya kau berterima kasih pada kakakmu.  Dia yang mengupayakan penyelidikan ini.  Benar kan, Sasuke?”

Sasuke mengangguk.  “Jika Hinata-sama tidak mengatakan bahwa ia ingin menelepon ayahmu, mungkin Hanabi-sama sudah kembali ke rumah sekarang ini.”

Hanabi tercengang. Ia tak bisa membayangkan Hinata yang ingin sekedar menelepon atau menemui ayahnya, karena setelah pewaris sah diganti ayah mereka sama sekali tidak mau menemui Hinata atau bahkan mengangkat teleponnya.  Dan Hinata pun tak memiliki nyali untuk menghadapi Hiashi.

“Ya.” Kiba mengangguk.  “Bagi Hinata-sama, Hanabi-sama adalah adiknya yang paling berharga.  Jadi, sebisa mungkin Hinata-sama akan memperjuangkan hak Hanabi-sama.  Terlebih lagi…”

“Kiba-kun,” Hinata menyuruhnya diam.

Hanabi lalu memandang Hinata.  Hinata yang dipandang sepert itu memberikan seyuman terbaiknya.  “Tidak apa-apa Hanabi-chan.”

Hanabi memajukan bibirnya dengan mata berkaca-kaca.  Gadis kecil itu lalu menghambur ke pelukan Hinata dan menangis lagi.  “Oneechan!  Hwaaaa~ Oneechan, gomennasai.

Hinata agak terkejut mendengar panggilan ‘Oneechan’ untuknya.  padahal biasanya Hanabi akan menyebutnya ‘Oneesama’.  Tapi, dalam hati ia senang karena dinding bernama formalitas antara dirinya dan Hanabi telah hancur.  “Daijoubu Hanabi-chan.”

Semua tersenyum melihatnya.  Kecuali Saki yang langsung berlari keluar ruangan itu.  Gerakan yang tidak diperhatikan oleh yang lain itu tertangkap oleh sepasang mata Genpachi yang memperhatikan ekspresi wajah gadis itu sejak tadi.

“Ada apa Sasuke-kun?” Tanya Saki melihat rahang Sasuke mengeras.

“Aku hanya memikirkan, siapa pelakunya?” jawabnya.

Audene

Dua bulan telah dilalui Saki dan Sakura di Audene dengan banyak pelajaran yang tertinggal.  Kali ini di akhir pekan memasuki musim panas mereka diijinkan keluar sekolah seperti berbelanja atau pun berkencan.  Terlebih lagi para gadis berencana akan pergi bersama-sama untuk berbelanja, seperti Sakura, Ino, Karin, Tenten, dan Saki yang beramai-ramai mengunjungi pusat perbelanjaan.

Saki menghela napas melihat melihat gadis-gadis itu berbelanja sambil mencocokkan pakaian-pakaian satu sama lain.  Melihat Saki yang seperti itu, Karin menghampirinya sambil menunjukkan sebuah kemeja berwarna merah.

“Bagaimana?  Cocok tidak untukku?” tanyanya.

“Apa pun yang kau pakai itu akan cocok denganmu.” jawab Saki sambil menguap.

“Ayolah Saki, pilihlah pakaian yang ingin kau beli.”

“Nanti saja.” Saki memandang ke arah lain dan terperanjat melihat jaket berwarna jeruk segar dan hijau pada bagian bahu dan lengannya tergantung.  Seketika itu juga ia teringat pada Naruto.  “Kalian bersenang-senanglah, aku pergi dulu.”

“Eh?” Karin menatapnya heran.  Ia terlihat berpikir.  “Baiklah, nanti kami akan menghubungimu.”

“Ya,” Saki melambaikan tangannya tanpa menoleh.  Karena matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari jaket yang dilihatnya di kejauhan itu.  Ia berhenti sejenak untuk memutuskan apakah ia akan membelinya atau tidak.

Setelah berpikir selama semenit, akirnya ia memutuskan untuk membelinya.  Ia melangkah dengan mantap untuk mengambil jaket itu sampai sebuah tangan mengambil jaket itu.  Mata Saki membulat lebar dan ia melihat Hinata mengambil jaket itu.

BRUK!

“Ah, gomennasai.” Seorang gadis berambut cokelat membungkuk padanya.  Saki memandangnya sesaat dan melihat ke arah Hinata, namun gadis itu berserta jaket yang diincarnya menghilang.  “Kau tidak apa-apa?”

“Eh?  Aa, daijoubu.” Jawab Saki.  Ia menghela napas.

“Kau murid Audene?”

“Ya, kau juga?”

“Uh.” Gadis itu mengangguk dengan semangat.  “Aku Moritani Yuka tingkat tiga dari kelas seni musik. Yah, walaupun sebetulnya aku sudah lulus tingkat tiga tahun ini.”

“Hasegawa Saki dari tingkat pertama.  Menghabiskan akhir pekan, eh?”

Gadis itu mengangguk.  “Aku sudah lama bersembunyi di sekolah, jadi lebih baik aku sekali-sekali ke luar.”

“Eh?  Kau tinggal di sekolah?”

Yuka menggeleng.  “Aku sejak tingkat pertama tidak pernah kembali ke rumah, sepertinya aku akan tinggal lebih lama lagi di sekolah.”

“Eh, kenapa?”

Yuka memandang berkeliling.  “Lebih baik kita mencari tempat yang bagus untuk ngobrol.  Kau juga membeli jaket?”

“Oh, itu…” Saki dengan asal mengambil jaket berwarna hijau tua besar dengan kerah.

“Baiklah, ayo!” gadis bernama Yuka itu membawa jaket yang lebih kecil dan menarik Saki ke kasir untuk membayar belanjaan mereka.

Audene

Nee nee,  untuk siapa kau membelinya?” Tanya Yuka sambil melirik bungkusan di samping Saki yang baru saja mereka beli.

Saki mengaduk es kopinya bersama gula yang baru saja ia masukkan.  “Ah itu untukku sendiri.”

Uso! Itu terlalu kebesaran untukmu.”

“Eh?” Saki terperanjat.  Ia mengeluarkan jaket yang baru saja dibelinya dan memadukannya dengan tubuh kurusnya itu.  “Kau benar.”

“Jadi, kau membelikannya untuk siapa?  Pacarmu, kah?”

“Ah, aku tidak memiliki hal yang seperti itu.”

“Eeh?  Kukira kau punya punya pacar.  Bukankah itu menyenangkan?”

Saki angkat bahu.  “Entahlah.  Aku pikir tidak akan menyenangkan jika orang itu tidak kusukai.”

Yuka terpana, lalu menggenggam tangan Saki.  “Aku baru kali ini bertemu dengan seseorang yang sependapat denganku.  Saki, mulai sekarang kita berteman ya?”

Saki terdiam selama beberapa saat dan mengangguk sambil tersenyum.  “Tentu saja.”

Arigatou, Saki.”

Saki tersenyum padanya.  Yuka lalu melepaskan genggaman tangannya dan mulai memakan fries yang ada di atas meja.  “Oya, kau ingin memberikannya pada siapa?”

“Ah itu, aku memberikannya untuk Hinaginu-chan sebagai hadiah perpisahan.  Musim panas ini dia akan bersekolah di Ame.”

“Adikmu?”

“Ah bukan, dia tinggal di The Dolls House.  Kau tahu?”

“Oh, ya. Di bukit Autumn.” Ujar Saki yang tiba-tiba teringat pada peta Audene.

“Aku awalnya hanya iseng saja ke sana, tapi aku melihat arwah kucing yang senang berkeliaran di sana.”

“Arwah kucing?”

“Ya,” Yuka mengangguk.  “Sejak kecil aku bisa melihat arwah kucing yang juga merupakan hewan peliharaan.  Kau punya kucing?”

“Eh? Tidak.”

Are?  Lalu kucing hitam…”

“Eh? Kucing hitam?”

Yuka mengangguk. “Kucing hitam bernama Kuro.”

“Bagaimana kau tahu aku pernah menamai seekor kucing hitam dengan nama Kuro?”

“Kucingmu yang mengatakannya padaku.  Jadi, kenapa kau bilang kau tidak pernah punya kucing jika kau pernah memberinya nama?”

“Yah, itu dulu.  Sekarang dia tidak ada.” Jawab Saki dengan mata sendu.

Gomen ne, aku mengatakan hal yang membuatmu sedih.” Yuka terdengar menyesal.

Saki menggeleng.  “Tak apa.  Oya, kenapa kau tadi bilang akan tinggal lebih lama di sekolah?”

“Eh?  Itu…” Yuka tertawa canggung.  “Aku kehilangan hak untuk memilih master dan aku tidak bisa meninggalkan Audene jika tahun ini tak ada yang mau memilihku menjadi maid.”

“Seperti itu kah?”

“Aku kehilangan hak itu saat aku berada di tingkat pertama untuk menolong pelayanku.” Jelas Yuka.  “Saat itu dia hampir dikeluarkan dari sekolah karena melanggar puluhan peraturan yang tertulis.  Sampai akhirnya hanya itulah cara yang bisa kulakukan untuk menolongnya.”

“Eh? Apa dia tahu tentang ini?”

Yuka menggeleng pelan dengan sedih. “Tentu saja dia tidak tahu.”

“Tapi, tidak bisakah dia memilihmu untuk menjadi maid-nya?  Kalian kan dekat, mungkin saja dia ingin dilayani olehmu sebagai gantinya?”

“Itu mustahil.  Karena maid yang kehilangan haknya tidak boleh melayani pelayannya yang dulu, walaupun pelayan terdahulunya itu memintanya sebagai maid-nya.  Semuanya ada di buku peraturan Audene.”

Saki meminum kopinya dengan sedikit gemetar. Pandangan matanya kosong.  “Jadi, nanti aku tidak akan berada di sisi Naruto lagi.”

“Eh?  Ada apa, Saki?  Kau mengatakan sesuatu?” Tanya Yuka cemas.

Saki cepat-cepat menguasai diri dan memandang Yuka lalu tersenyum.  “Tak apa.  Bagaimana jika kita jalan-jalan ke toko buku sebelum kembali ke Audene?”

“Tentu saja.  Ada buku yang ingin kau beli?”

Saki mengangguk.

Audene

Sakura menutup ponselnya lalu menghela napas.  “Saki bilang, dia akan pergi sebentar bersama temannya.”

“Teman?” Ino mengernyit.  “Setahuku dia tidak memilik teman lain di sini.”

Sakura angkat bahu.  “Entahlah.”

Mereka tengah dalam perjalanan kembali ke sekolah.  Sakura berjalan sambil melamun.  Ia kini memikirkan perkataan Ino.  Saki tidak memiliki teman lain di sini kecuali mereka teman sekelasnya.

“Kyaaaaa~” jeritan Ino tedengar saat muncul orang-orang yang memakai balaclava hitam muncul dan mengelilingi keempat gadis itu.

“Apa-apaan ini?” gertak Tenten.

Masing-masing dari mereka membawa stun gun.  Jalan menuju Aiden yang begitu sepi karena dikeliling pohon dan padang rumput yang sepi tidak menguntungkan gadis-gadis itu.  Salah satu dari mereka lalu menarik Sakura dan akan melumpuhkan gadis itu dengan stun gun, namun Sakura mencoba melawan dengan pukulan mautnya yang dengan mudah ditahan orang itu.

“Sial!” Geram Tenten.

“Sakura!” jerit Karin begitu melihat gadis itu akan dilumpuhkan oleh stun gun.

BUGH!

“Sasuke-sama,” seru Karin tak percaya tiba-tiba Sasuke meninju orang yang menahan tangan Sakura.

“Kalian tidak apa-apa?” Tanya Gaara.

“Um,” Ino mengangguk.  “Kami tak apa-apa.”

“Baiklah,” Suigetsu yang baru datang bersama Neji segera menyingsingkan lengan kemeja mereka.  “Serahkan pada kami.”

Keempat pemuda itu mulai menerapkan ilmu bela diri yang mereka pelajari untuk melawan orang-orang itu.  Dan keempatnya baru akan berhenti begitu orang-orang itu pergi.  Mereka menarik napas berulang kali melihat kepergian orang-orang itu.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Sasuke.

Wajah Sakura memerah.  Diluar sekolah, mereka bukanlah lagi shitsuji dan ojousama.  “Aku baik-baik saja.  Terima kasih sudah datang tepat waktu.”

Sasuke mengangguk.  Ia melihat ke sekitarnya dan menyadari seorang lagi yang tak ada di antara gadis-gadis itu. “Dimana Hasegawa?”

“Saki?” Tanya Karin.  “Kudengar dari Sakura dia pergi bersama temannya.  Iya kan, Sakura?”

“Ya,” Sakura menunjukkan e-mail yang tadi dikirim Saki.  “tadi dia mengirimiku e-mail ini.”

Sasuke cepat-cepat mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Naruto.  Namun, tidak diangkat. “Gawat.” Sasuke menutup teleponnya dengan kasar.

“Sasuke-kun, ada apa?” Tanya Sakura.

Sasuke tidak menjawab.  Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat dan beranjak dari sana.  Mengabaikan panggilan-panggilan temannya.

Sakura yang melihat pemuda itu pergi, cepat-cepat mengikutinya.  “Sasuke-kun, ada apa?”

“Kau bisa pulang bersama mereka?”

“Eh?”

“Pulanglah ke Audene!” tegas Sasuke tanpa memandang Sakura.

“Sasuke, kau menutupi sesuatu dariku.  Kumohon, katakan padaku!”

“Itu bukan urusanmu.” Setelah mengatakan itu, Sasuke berlari meninggalkan Sakura.

Audene

“Kau ingin masuk klub apa?  Aku merekomedasikan klub teater.  Bagaimana?”

“Ah, maafkan aku.  Aku sudah mendaftar untuk klub Kendo kemarin.”

“Oh, sayang sekali.  Klub teater kami sekarang sedang kekurangan orang.  Padahal bunkasai nanti kami akan mempertunjukan sebuah drama.”

“Eh?  Kalian akan mempertunjukan drama apa?” Tanya Saki dengan tertarik.

“Kau akan tertarik dengan ini.  Kami akan mempertunjukan Pride and Prejudice.”

“Jane Austen, eh?”

“Ya.” Yuka mengangguk dengan penuh semangat.  “Tahun kemarin kami sudah mempertunjukan Hamlet.  Maka dari itu kami membuat yang baru.”

ZRRRT!!!

“Argh!” Saki mengerang begitu aliran listrik bertegangan rendah terasa di bahunya.

“Saki!” seru Yuka kaget melihat orang-orang itu menjatuhkan Saki ke tanah.

“Lari, Yuka!” seru Saki dengan keras.

Yuka mematung melihat empat orang yang mengenakan balaclava memegangi Saki yang meronta di tanah.  “Apa yang kalian lakukan?” ia memukul-mukul mereka dengan tas tangan kecilnya.

“Diam kau!” seru mereka menangkis pukulan tas Yuka.  “Bawa gadis ini pergi, cepat!”

Tasukete! Dare ka!!!” teriak Yuka dengan kencang.

“Yuka, lari!” perintah Saki.

“Aku tak bisa meninggalkanmu.” Balasnya dengan keras, namun salah satu dari mereka menyergap gadis itu dan melumpuhkannya dengan stun gun.

“Yuka!” mata Saki melebar terkejut melihat gadis itu ambruk.  Ia memandang mereka yang mulai menyeretnya menjauhi Yuka sampai lututnya terluka. “Lepaskan!  Lepaskan aku! Yuka!”

ZZZRRRT!

Tegangan listrik lebih besar mengenai punggungnya dan setelahnya ia tak bergerak lagi.

Audene

“Kau sudah bangun?” suara seorang pria membuat nyawanya terkumpul.

“Inukai….–san,”

Saki terbangun dengan perlahan.  Ia merasakan perih di lutut dan punggungnya.  Matanya menyapu sekeliling dan melihat Yuka terbaring di tempat tidur sebelahnya.  Ia meneguk ludah dan merasa bersalah karena tak bisa melindungi gadis itu.

Melihat pandangan Saki, Genpachi lalu berkata, “Kau tenang saja.  Dia tadi sudah sadar dan kembali tertidur setelah Akane memberinya obat.”

Saki menerima gelas berisi air minum yang disodorkan Genpachi padanya dan menguk habis air minum itu.  Ia memandang lagi ke arah Yuka dan agak terkejut menyadari orang lain berada di samping tempat tidur gadis itu.  Seorang pria dengan rambut hitam yang agak panjang menutupi tengkuknya.

“Inumura Daikaku.” Ujarnya memperkenalkan diri.

Saki menganggukkan kepalanya.  “Hasegawa Saki.” Gadis itu lalu cepat-cepat beralih memandang Genpachi yang terlihat berbeda dengan setelan kemeja kelabu yang tidak dikancingkan dan t-shirt hitam dan celana jeans.  Yah, ia akui bahwa Genpachi cukup tampan jika tidak mengenakan seragamnya. “Apa kau melihat orang-orang yang menyerangku?”

“Ya, mereka langsung kabur begitu kami datang.” Jawabnya.  “Apa kau tahu siapa mereka?”

Saki menggeleng.  “Tidak.  Tiba-tiba mereka menyerangku dengan stun gun dan membuat Yuka pingsan karena berusaha menolongku yang diseret mereka.” Saki menyentuh lututnya dan ia menahan napas kesakitan.

Genpachi memegangi kaki Saki yang sudah dibebat dengan perban.  “Lain kali jangan menggunakan celana pendek ketika keluar.”

“Ini sudah memasuki musim panas, kenapa kau protes?” gerutunya.

“Istirahatlah.  Sebentar lagi Akane akan kemari.” Genpachi mengacak-ngacak rambut Saki, yang lalu ditepis kasar oleh gadis itu dengan sebal.

Baru saja mereka menutup pintu, sebuah ide terlintas di kepala Saki.   Cepat-cepat gadis itu turun dengan susah payah dari tempat tidurnya dan berjalan dengan tertatih-tatih ke arah pintu keluar ruang klinik setelah meraih bungkusan di meja sampingnya.

“Inukai-san,” panggilnya agak keras.

Namun, pria itu tidak menoleh sedikit pun dan terus berjalan.

“Inukai-san!” panggilnya agak lebih keras dan mulai melangkah lagi dengan menahan sakit di kakinya.

“Dia memanggilmu.” Daikaku memberitahunya.

Genpachi hanya tersenyum.  “Sedikit lagi.”

“GENPACHI!”

Senyum kemenangan terlihat jelas di wajah Genpachi.  “Kau duluan, aku ada urusan dengan gadis itu.” katanya pada Daikaku.

Daikaku tersenyum penuh arti dan melangkah pergi.

“Ada apa?” tanyanya setelah berada di depan gadis itu.

Melihat senyum menyebalkan pria itu, Saki memukul pria itu dengan tas berisi jaket yang tadi dibelinya itu.  “Baka!  Aku jelas-jelas memanggilmu dan telingamu tidak mendengar itu!” jeritnya kesal.

Genpachi hanya menerima pukulan itu sambil tertawa. Pukulan itu akhirnya berhenti dan Saki menekan tas itu di dada pria itu.  Genpachi memegang tas itu agar tidak terjatuh ke lantai.  “Apa ini?”

“Untukmu.” Ucap Saki enggan.  Namun, ia cepat-cepat berkata saat melihat seringai pria itu, “Aku bukannya sengaja membeli itu untukmu.  Aku tadi salah membelinya dan kurasa itu cocok untukmu.”

Genpachi melihat isinya dan tersenyum.  “Arigatou, Saki Hime.”

Wajah Saki memerah mendengarnya.  “Tapi itu tidak gratis.”

“Hm… jadi, apa yang kau inginkan dariku?”

“Aku ingin meminta sesuatu darimu.” katanya pelan-pelan.  Genpachi tidak menjawab namun hanya memandang Saki, menuntut gadis itu untuk meneruskan ucapannya. “Aku ingin kau mencarikan master untuk Yuka.  Dia tidak bisa meninggalkan sekolah ini jika dia belum melayani seseorang.  Yuka kehilangan haknya untuk memilih master, jadi aku…”

“Baiklah, aku mengerti.”   Genpachi lalu mendekatkan diri pada Saki untuk berbisik.  “Tapi, itu tidak gratis.”

Mata Genpachi memandang mata gadis itu yang berlainan warna.  “Matamu sangat cantik.” Bisiknya lalu ia mengecup bibir Saki.

Saki mematung di tempatnya, bahkan ia masih mematung di sana saat pria itu sudah menghilang dari hadapannya.

To be continue…

11 responses to “Audene (Chapter 4)

  1. OMG bikin pnsran dech siapa yg nyerang sakuran n saki?? Trus sasuke sprtinya tau siapa pelakunya?? Makin lanjut nea chapter tambah bikin pnsaran next chapter dech 😀

  2. baru pertama kali baca fanfict jepang,
    kekeke~
    Mohon dimaklumi..:D

    kesan pertama yang muncul adalah ‘ff ini membingungkan’
    karena saking penasaran-nya,
    pake sistem SKS dari chapter 1-4

    Ceritanya bikin kebayang terus ternyata,
    kekeke~
    di tunggu selanjutnya ^^

  3. aduh Genpachi emang udah suka sama Saki ya??
    kenapa bisa suka?? ah pasti ada apa-apanya antara Ganpachi sama Saki :3

    eumm kayanya Sasuke tahu yang melakukannya??
    apa oknum yang sama kayak yang mau manfaatin Hanabi-chan??

    Saki baik ya~ Yuka kehilangan hak? Saki juga kehilangan haknya kan?

    ah mari ditunggu chapt selanjutnya

  4. aaaww :3 Saki dan Genpachi? ada apa dengan mereka ya? 😀 apakah Genpachi punya masa lalu dengan Saki? hehe Genpachi kayaknya nggak bakal cuma jadi figuran nih.
    sukaaa sama chapter ini XD
    makin penasaran siapa dibalik orang2 yg nyerang itu dan apa motifnya. Sasuke sepertinya sdh lumayan tau ‘konspirasi’nya ya?

    kepingin banget lebih banyak scene Saki dan Genpachi, hehe

    arigatou kak Aya telah menulis 🙂

Tinggalkan komentar