DYING ! (SONGFIC)

Gambar

 

Title                 :           DYING !

Main cast        :           Choi Minho – Shinee

                                    Bae Suzy   – Miss A

Genre               :          Romance, sad? 

Other Cast       :           Jung Krystal

 

HAPPY READING !!! :D

____________________

I didn’t know we would break up so easily
My tears won’t stop flowing

Aku menitikkan air mata diiringi hujan deras yang mengguyur Seoul sore ini, melihat beberapa kertas yang terdapat di dalam sebuah map biru dongker yang tertulis ‘Surat Perceraian’ di atasnya. Dalam lembar pertama bisa kulihat tanda tanganku dan tanda tangan suamiku di sebelahnya, oh.. tidak, calon mantan suamiku lebih tepatnya. Sangat sulit mendapatkan tanda tangan ini, setelah satu bulan dan aku memaksanya, akhirnya kolom tanda tangan ini terisi juga. Ya, memang aku yang memintanya menceraikanku.

Air mataku meluncur semakin bebas saat mengingat alasan kami menyudahi pernikahan kami yang baru berusia 2 tahun ini. Sungguh aku tidak ingin mengakhiri pernikahan ini, walaupun kami menikah karena dijodohkan, namun rasa cinta itu muncul seiring berjalannya waktu. Dan kini aku sangat mencintainya. Cintaku tidak akan berkurang sedikitpun. Kalau saja tidak ada wanita itu, aku tidak akan melakukan ini. Tapi, aku tetap harus mengambil keputusan ini.

 

Flashback

“Annyeonghaseyo,” sapa seorang wanita cantik yang sudah terlebih dahulu duduk di meja nomor 09 di sebuah coffe shop saat aku datang.

“Annyeonghaseyo,” balasku.

“Choi Sooji-ssi?” tanyanya agak ragu sambil menyunggingkan senyum manisnya.

“Ya, benar,” jawabku menegaskan, “ada apa anda meminta bertemu, Jung Krystal-ssi?”

Aku baru mengenalnya kemarin sore, ia menelponku, entah dari mana ia mendapatkan nomorku, ia meminta bertemu denganku, katanya ingin berbicara mengenai suamiku, Choi Minho.

“Mmmmm… maaf sebelumnya, aku telah menggangu rumah tangga kalian,”

“Maksudmu?” tanyaku bingung, sepertinya hubunganku dengan suamiku baik-baik saja belakangan ini, bahkan mungkin bisa dibilang semakin baik.

“Ini,” ia menyodorkan sebuah amplop cokelat agak besar dan amplop putih kecil yang sepertinya surat dari rumah sakit.

Aku mengernyitkan dahi saat menerimanya, ia memberiku kode untuk membukanya. Aku membuka amplop putih kecil terlebih dahulu. Aku semakin bingung karena isinya adalah selembar surat keterangan kehamilan dan sebuah testpack yang memperlihatkan dua garis merah. Jantungku berdetak cepat, apa maksudnya ini? Banyak pemikiran negative yang berkelebat dipikiranku. Maldo Andwe! Jangan katakan ia hamil dan itu anak Minho Oppa.

Aku segera membuka amplop cokelat itu.

Bagai tersambar petir, aku melihat foto seorang wanita sedang berciuman di atas ranjang dengan seorang lelaki, ia sangat mirip dengan… dengan Minho Oppa. Keringat dingin bermunculan di dahiku seiring mendinginnya suhu tubuhku.

“Apa ini?” tanyaku dingin.

“A… aku.. aku hamil, Sooji-ssi, dan Choi Minho yang menghamiliku,” jawabnya terbata-bata sambil menunduk, aku tahu ia menangis.

Aku hilang kendali, aku menamparnya, begegas ke luar café dan menghampiri Minho Oppa yang sedang ada di kantornya. Aku meminta penjelasannya dan menangis di depannya. Ia bersumpah tidak melakukan itu. Aku ragu karena awalnya ia berkata bahwa ia di dalam pengaruh alkohol. Aku tetap menuduhnya. Ia tetap menyangkalnya, namun pada akhirnya ia ragu saat aku meminta bukti darinya. Kami terdiam lama.

“Ceraikan aku,” ujarku lemah, aku merasa seperti ada seribu jarum yang menusuk jantungku. Aku tidak bisa bernapas, sakit sekali, mungkin hatiku juga terkena beberapa jarum, sungguh sakit sekali di sana.

“Choi Sooji! Apa yang kau katakan?”

“Ceraikan aku,” ujarku memperjelas permintaan itu.

“Aku bersumpah aku tidak melakukannya,” ujarnya tegas dengan mata berkaca-kaca. Oh Tuhan, aku tahu dia sangat serius akan ucapannya. Choi Minho tidak akan penah bersumpah kecuali ia benar-benar yakin tentang ha itu 100%.

“Buktikan padaku,” ujarku dan ia terdiam. Ya, sulit memang, pada kenyataannya pada tanggal yang sama yang tercetak di dalam foto Minho Oppa memang sedang merayakan keberhasilan proyeknya dan ia tidak pulang sampai pagi. Dan aku juga mencium bau parfum wanita yang bukan parfumku di bajunya, awalnya aku curiga, namun aku mencoba percaya kepadanya.

“Aku tidak tahu, aku mabuk saat itu. Namun aku bersumpah aku berani tidak melakukan hal itu padanya, anak yang dikandungnya bukan anakku,” ujarnya lagi.

“Jangan bersumpah kalau kau belum yakin dengan kebenarannya, Choi Minho,” ujarku memanggil namanya, itu pertanda aku sangat marah dengannya. Aku melihatnya terkejut.

“Ceraikan aku, bertanggung jawablah atas perbuatanmu,” suaraku mencicit seperti tikus terjepit saat mengatakannya.

“Jangan katakan itu, emosimu sedang tidak stabil,” ujarnya lembut, “kita bicarakan lagi nanti,”

Aku menganga, kenapa ia santai sekali? “Aku serius, ceraikan aku, menikahlan dengannya,”  aku juga wanita, walaupun sedikit aku tahu bagaimana rasanya hamil namun tidak memiliki suami. Mungkin itu rasanya, sepertiyang ada di perkiraanku. Entah atau bodoh atau bagaimana. Entah dari mana juga aku mengeluarkan kata cerai itu. apakah aku terlalu gegabah?

Minho Oppa meninggalkan apartemen kami seminggu setelah hal itu karena aku terus meminta bukti darinya dan pada akhirnya aku selalu mengeluarkan kata ‘cerai’ arena tidak pernah ada bukti pasti yang diberikannya. Sebenarnya ada, tapi bukti itu tidak cukup kuat. Sepertinya ia membenciku setelah itu karena bahkan ia tidak menatapku saat hari terakhir ia satu atap denganku.

Flashback End

 

Air mataku masih terus mengalir. Kepalaku sedikit pening. Tidak hanya hari ini saja aku mengeluarkan air mata. Sungguh sangat sakit menjalani hari-hari tanpanya. Aku tidak pernah menyangka rumah tangga kami akan berakhir, apalagi dengan cara seperti ini. Mungkin ini memang salahku, memintanya menceraikanku. Tapi aku tidak mau mempunyai suami pengecut yang tidak bertanggung jawab.

In my bathroom your toothbrush was here then gone
Your strong scent was here then gone
I just wanted to say that I love you
But your number is disconnected now

Aku memutuskan untuk mencuci mukaku. Entah bagaimana rupa wajahku saat ini, yang pasti kusut. Aku melihat handuknya masih menggantung di gantungan handuk di dalam kamar mandi. Aku masih melihat semua peralatan miliknya di kamar mandi kecil kami ini. Namun rasanya tetap hampa, ruangan kecil ini sunyi senyap, kosong, karena pemilik benda-benda itu tidak ada. Aku merasakan sesak di dadaku. Aku segera mencuci wajahku yang terlihat kuyu.

Mungkin mengganti baju kantor yang masih melekat di tubuhku adalah pilihan baik. Aku membuka lemari, menyeruak wangi pakaian, pakaiannya masih menggantung tenang dan tetata rapi di dalam lemari. Tak ku sadari air mataku menetes lagi. Aku mengambil sebuah sweater hijau tua miliknya dan hot pants hitamku.

Aku kembali ke tempat ternyamanku saat ini, sofa panjang di ruang tv. Aku menaikkan kedua kakiku ke atas sofa dan memeluknya, menopangkan kepalaku di lututku. Memandang kosong ke arah tv yang menyala. Menikmati bau Choi Minho di sweaternya ini. Aku merasa hampa, seperti ada yang hilang dari diriku. Tak kuingkari ada rindu padanya di hatiku. Hatiku perih mengingatnya. Demi Tuhan, aku sangat mencintainya. Aku sangat merindukannya.

Entah apa yang aku pikirkan saat itu. mencoba menjadi seorang wanita yang sok peduli dengan wanita lain. Seharusnya mungkin saat itu aku tidak mempercayai wanita itu, bahkan meminta wanita itu menggugurkan kandungannya, tidak peduli itu anak Minho Oppa. Harusnya aku memang memikirkan jalan lain. Seharusnya aku egois saat itu. seharusnya aku mempertahankan Minho Oppa. Aku terlalu bodoh saat itu. ya, sangat bodoh. sangat sangat sangat sangat sangat bodoh. mana ada orang yang mau menyiksa dirinya sendiri kalau bukan orang yang bodoh, sepertiku saat ini.

Sungguh demi apapun aku mencintainya. ‘Saranghae, oppa’ ‘Saranghae… Saranghae… Saranghae…’. Aku sangat merindukannya. Aku ingin mendengar suaranya, mungkin suaranya saja cukup menyembuhkan rinduku ini. Aku mengambil ponselku yang tergeletak di meja depanku. Dengan ragu aku menekan lama angka satu yang otomatis akan menghubungkan teleponku dengannya. Ya, aku meletakkannya di nomor satu karena memang ia adalah yang ke satu untukku, selalu, sejak ia menjadi suamiku, tidak akan pernah berubah, selamanya. Ia menjuarai apapun dalam nominasiku. Orang yang aku cintai, dia nomor satu. Orang yang mengertiku, ia nomor satu. Orang yang paling tampan, ia nomor satu. Orang yang paling baik, ia nomor satu. Semua peringkat yang pertama memang miliknya.

Terlihat tulisan Choi Minho, Calling Mobile dalam iphone-ku. Sedetik kemudian ku putuskan hubungan itu. Aku ragu menelponnya, apakah ia akan mengangkat teleponku? Dan aku merasa menjadi orang yang paling memalukan, wanita paling murahan karena aku yang menelponnya duluan setelah aku memintanya menceraikanku. Aarrgghh persetan dengan semua itu! aku sangat merindukannya, aku hanya ingin mendengar suaranya sekarang! Tidak peduli apapun! Terserah ia mau bilang aku wanita murahan, labil, memalukan. Sungguh aku hanya ingin mendengar suaranya yang telah menjadi candu bagiku.

Aku menekan lama angka satu lagi. Nada sambung terdengar. Lama. Tidak ada yang mengangkat. Aku mengulangnya, mengulangnya, dan mengulangnya. Sambunganku tetap tidak diangkat. Aku mulai menyerah, mungkin ini panggilanku yang ke 20, mungkin lebih, aku tidak menghitungnya. Melihat kenyataan ia tidak mau mengangkat telepon dariku sangatlah menyakitkan.

“Mungkin ia sedang sibuk menyiapkan pernikahannya,” ide itu lewat dipikiranku. Hatiku sakit sekali. Aku mencoba menghubunginya lagi, aku janji ini yang terakhir. Nada sambung terdengar cukup lama, ide gila tadi mengusikku, mungkin memang ia sedang sibuk menyiapkan pernikahannya. Aku mulai sedikit panik.

“Angkatlah, angkatlah, angkalah, angkatlah, jebaaaal.. Choi Minho Angkatlaaaahh!!!!” teriakku frustasi dan melemparkan ponselku ke sofa di sebelahku tanpa memutuskan sambungannya terlebih dahulu. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, menangis sejadi-jadinya. Menangis seperti anak kecil yang tidak diberikan mainan oleh ibunya.

Picture perfect memories scattered all around the floor
Reachin’ for the phone ’cause I can’t fight it anymore
And I wonder if I ever cross your mind
For me it happens all the time

It’s a quarter after one, I’m all alone and I need you now
Said I wouldn’t call but I lost all control and I need you now
And I don’t know how I can do without
I just need you now

I can’t smile because you’re no longer here
Because you’re not here
I hate seeing myself break down
I have nowhere to depend on now

Aku mengerjapkan mataku, perih rasanya. Suara tv mengusikku dari tidurku. Aku tertidur setelah menangis tadi. Aku menghela napas panjang, lelah rasanya, sangat lelah. Perutku berbunyi, kerongkonganku kering. Aku melirik jam di atas tv, jam 12:05 AM.  Aku memutuskan pergi ke dapur. Aku melewati sebuah tembok pemisah dapur dengan ruang tv yang berisi penuh fotoku dan Minho Oppa. Foto dari kami masih berpacaran hingga satu bulan yang lalu. Ya, bulan lalu saat kami sedang bersantai di hari minggu, menonton dvd bersama, Minho Oppa tiba-tiba mencium pipiku dan menangkapnya dengan polaroid. Di foto itu aku hanya meliriknya sambil tersenyum. Aku mengelus foto itu, mengelus wajahnya yang tampan di foto itu, hidungnya yang mancung sempurna, bibirnya yang aku sukai. Rasa sesak menyergapku. Aku segera menundukkan kepalaku. Pilihan yang salah, aku mendapati beberapa foto Minho Oppa berserakan di lantai. Oh.. bahkan benda mati, foto, saja tahu, ia jatuh saat orang yang ada di dalamnya pergi. Aku menempelkan kembali foto itu ke tempat semula.

Aku memutuskan pergi ke dapur sesegera mungkin sebelum air mataku terjatuh lagi. Oh Tuhan… tidak adakan bagian di apartemen ini ang tidak mengingatkanku pada Choi Minho? Di pintu kulkas masih tertempel dengan magnet berbentuk hati, sebuah kertas note berisi tulisan tangan Minho Oppa yang menyatakan terima kasihnya karena aku selalu membuatkan sarapan untuknya dan banyak note lain yang berisi makanan yang ia ingin makan dan memintaku membuatkannya. Aku mencoba cuek, membuka kulkas, mengambil sekenanya makanan yang ada di kulkas, aku mengambil sepotong kecil cheese cake, mengunyahnya. Sulit sekali menelannya dengan rasa sakit di kerongkonganku, akibat tangis yang tertahan, kue ini kue kesukaannya. Aku berjongkok di dapur, terisak pelan.

Aku bangkit dan mengambil segelas air, meminumnya. Aku teringat, terkadang pada jam yang sama seperti sekarang Minho Oppa baru pulang dari kerjanya, ia suka membangunkanku dan memintaku memasak untuknya karena ia belum makan malam. Ia memang sangat sibuk. Terkadang bahkan hanya mengambil minum saja, aku atau dia, akan membangunkanku atau aku membangunkan dia, hanya untuk sekedar mengambil air minum saja.

Sesak kembali menyeruak, kerongkonganku sakit, aku segera minum kembali, berharap rasa sakit itu hilang setelah aku minum. Salah besar, air mataku malah meluncur lagi. Aku melempar gelas melamin itu ke tempat cuci piring dan menyisakan bunyi yang sangat keras. Aku mendudukkan diriku di kursi meja makan, aku menutup wajahku dengan tanganku dan kembali menangis. Entah dari mana asalnya air mata ini. Seharsnya air mataku sudah habis mengingat sudah berapa banyak aku menangis belakangan ini. Kesepian menyergapku, ya, tidak terdengar suara lain selain suara tv yang terdengar. Biasanya ia akan duduk di depanku, namun sekarang yang kudapati hanyalah udara saja, kosong. Oh mungkin aku hampir gila sekarang. Aku tidak mengerti! Semakin lama aku tidak rela melepasnya. Semakin lama aku semakin menginginkannya kembali.

Bukan hanya menginginkinnya, aku membutuhkannya untuk menjalani hidupku. Membutuhkannya dalam melalui setiap detik yang ku lewati. Sungguh aku butuh dirinya. Aku selalu mengandalkan dirinya, ia selalu ada di sisiku kapanpun itu, ia selalu ada saat aku butuh bahunya untuk bersandar, tangannya selalu mengelus punggungku saat aku sedang terpuruk atau melalui masa sulit dalam hidupku.

‘Tidak! Aku tidak boleh seperti ini, lepas control dan seperti orang gila. Aku akan segera berpisah dengannya. Aku akan kembali menjadi Bae Sooji lagi, bukan Choi Sooji. Aku harus bisa menerimanya. Aku harus bisa!’ mulutku mengucapkan kalimat-kalimat itu pelan. Namun yang ada aku kembali menangis karena hatiku tidak bisa menerimanya, ia berkata lain. Apakah aku bisa hidup nantinya? Bisa melewati hari-hariku seperti dulu seperti saat aku belum mengenalnya? Sepertinya tidak karena untuk tersenyumpun aku membutuhkannya. Aku akan tersenyum saat ia berada di sisiku, lebih tepatnya aku tahu dengan pasti ia ada di sisiku.

Another shot of whiskey can’t stop looking at the door
Wishing you’d come sweeping in the way you did before
And I wonder if I ever cross your mind
For me it happens all the time

It’s a quarter after one, I’m a little drunk and I need you now
Said I wouldn’t call but I lost all control and I need you now
And I don’t know how I can do without
I just need you now

I hate to see myself get drunk and stumble
Can’t fight with you even if I want to now
Because you’re gone, because you’re gone
I got no one to talk to now

Aku ingat ada beberapa kaleng bir di dalam kulkas. Aku mengambil ketiga kaleng bir itu dan membawanya ke ruang tv. Aku mulai meneguknya dengan cepat. Berharap mabuk, walaupun aku tahu aku tidak akan mabuk parah hanya dengan tiga kaleng bir ini. Tapi setidaknya mungkin aku bisa sedikit melupakannya sekarang. Sebenarnya aku tidak suka mabuk seperti ini, tapi ku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini.

Alih-alih melupakannya aku sekarang malah memperhatikan pintu apartemenku. Berjaga-jaga, siapa tahu Minho Oppa pulang kembali. Ia kan biasa pulang pukul segini. Air mataku kembali mengalir mengingat kenyataan ia tidak akan pulang.

“Oh sungguh! Tuhan tolong mabukkan aku dan buat aku melupakannya sejenak,” ucapku pelan.

Aku terpuruk. Aku jatuh. Aku tersungkur. Aku terjembab. Aku masuk ke dalam gorong-gorong gelap saat ini. Biasanya dia yang ada di sampingku. Tapi sekarang aku seperti ini karena dia. Lalu siapa yang ada di sisiku? Apakah ada? Kupikir tidak ada.

I can’t breath now that you’re now longer here
I can’t even stay because you aren’t with me
I am slowly dying but you’re not here
Anymore anymore anymore

Satu jam aku menangis. Sepertinya aku sudah tidak mempan dimabukkan oleh 3 kaleng bir seperti itu karena sekarang aku masih sadar 100%. Ya, aku masih bisa memikirkan dirinya dengan jelas, bahkan semakin jelas.

Napasku semakin sesak. Sulit sekali bernapas saat aku kembali tersadar bahwa kau tidak lagi ada di sampingku. Kepalaku semakin berat. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan mencoba memberi perhatian pada televisiku yang hampir menyala dua belas jam tanpa henti.

Sial!!!!!!!!! Aku salah menekan tombol. Aku menekan pengalihan input, padahal aku hanya ingin memindah channelnya.  Seharusnya aku tetap memilih antena sebagai inputnya, namun aku menekan Usb sebagai inputnya. Alhasil mucullah video liburan kami yang terakhir. Ya aku memang melihatnya bersama dengan Minho Oppa beberapa minggu lalu dan lupa mencabut flashdisk itu. video itu merekan saat kami berlibur ke Jeju. Memang hanya ke Jeju, bukan ke luar negeri atau lainnya. namun itu sebuah kenangan yang sangatlah indah. Sungguh apapun yang dilakukan bersamanya adalah hal yang indah. Di dalam video itu terlihat kami yang sedang merekam diri kami sendiri. Lalu terdengar suaraku, “Oppa! Berikan pesan dan kesanmu di liburan ini!”, ya aku yang memegang kamera sat itu. Tv LED besar itu memperlihatkan wajahnya tampannya dengan senyum yang indah, “Mwo? Hemmm.. Apa ya? Yang jelas aku sangat bahagia sekarang karena aku berlibur dengan dirimu. Daaan..,” ia memutus ucapannya dan memasang wajah berpikir yang lucu, “ Dan aku harap Minho Junior akan segera hadir,” lanjutnya sambil tersenyum evil.

“Yaaaaa!!! Oppaaa!!!” teriakku sambil memukul bahunya, yang terlihat di dalam video hanya tanganku saja, lalu Minho Oppa berlari menyusuri pantai dan aku pun mengejarnya. Video itu terasa lebih indah karena Backsound-nya adalah suara tawa kami berdua.

Air mata lagi-lagi mengalir menuruni pipiku. Aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi, lemas sekali. Rasa ini sungguh menyakitkan dan aku tidak kuat menahannya. Ya, Minho Junior memang sudah ada, tapi bukan di rahimku, melainkan di rahim wanita itu. Sakit… sakit sekali mengetahuinya.. sungguh sakit, seakan-akan sakit ini mampu membunuhku.

I know that my heart is wherever you are
Close enough our breaths can touch
Always in that same place

Oh, i… i don’t have anything i can give you
(but i’m) missing you
I can’t even give you loving words
But i’m missing you
I can’t even boldly wish for you to be mine
But i’m missing you

Video itu terus berputar bersamaan dengan pikiranku yang berputar. Lagi-lagi aku katakana bahwa aku sangat merindukannya. Aku merindukannya setengah mati. Sangat sangat sangat. Aku ingin mendengar suaranya. Cukup mendengar suaranya. Aku butuh mendengar suaranya.

Ponselku bergetar. Aku mengambilnya, aku terbelalak melihat nama yang tertera di ponsel itu, Choi Minho. Ponselku terus bergetar, aku sangat terkejut. Rasa bahagia menyeruak di dari hatiku. Aku menyentuh layar pertanda menganggkat sambungan itu.

“Yeoboseyo,” serunya. Aku tak bisa menjawabnya. Air mataku tiba-tiba semakin deras meluncur, “Yeoboseyo?” ujarnya lagi.

Aku sangat ingin menjawabnya, sangat ingin mengatakan bahwa aku merindukannya, tapi aku tidak bisa, aku tidak kuat. Teringat aku tidak bisa lagi memilikinya, aku semakin berusaha menyembunyikan isak tangisku.

“Ya! Sooji-ah, Gwenchana?” tanyanya sedikit panik, aku menggigit bibirku menahan tangisku dan menggeleng pelan.

‘Oppa, apakah kau masih mengkhawatirkanku?’ batiku.

Tut.. tut.. tut.. tut.. tut..

Sambungan telepon diputus olehnya. Bahuku merosot turun.

‘Ternyata salah perkiraanku. Kau tidak lagi mempedulikanku,” bisikku pelan tersenyum pahit. Air mataku tak kunjung berhenti.

And I don’t know how I can do without

I just need you now

I just need you now (wait)

Ooo, baby, I need you now

Aku tidak kuat lagi. Sungguh aku tidak bisa hidup tanpa dirinya. Sungguh aku lebih baik mati. Apa yang bisa kulakukan tanpanya? Mungkin kau akan menghiburku dengan ‘Sooji kau pasti kuat! Sooji kau pasti bisa! Sooji aku tahu siapa dirimu, kau sanggup melewati ini! Sooji kau kuat! Dan bla.. bla.. bla.. lainnya.”

Ya, mungkin saja aku memang masih bisa hidup nantinya, namun bagaikan orang hidup dengan oksigen 1% di dunia. Terlalu menyesakkan dan terlalu menyakitkan.

“Oppa, I need you,”

“Oppa, I really really really need you,”

“Oppaaaaaa…!” teriakku tanpa ada suara yang keluar. Sudah habis tenagaku.

Please come back to me

Aku menidurkan tubuhku di sofa, beralaskan bantal sofa kumiringkan tubuhku menghadap tv dan melihat kembli video yang belum selesai berputar itu.

Tak pernah sedetikpun aku mengalihkan pandanganku dari layar televisi itu. “Oppa, Saranghae,” bisikku, “Jeongmal Saranghae,”

Hmmm… ya mungkin kau mengataiku seorang wanita yang bodoh. sudah tau ingin bercerai aku malah terkesan membangkitkan ingatan-ingatan tentangnya dan tidak mencoba menghindarinya. Mau bagaimana lagi? Aku tjuga tidak tahu mengapa. Aku benar-benar mencintainya dan merindukannya. Kau akan merasakannya sendiri saat kau begitu mencintai seseorang. Kau bisa menjadi bodoh tiba-tiba dan gila karenanya.

Mataku sudah menjadi sangat sipit sekarang, aku merasa aku sulit membuka mata. Entah seperti apa rupaku sekarang. Pasti mataku sangat bengkak, rambutku juga berantakan, dan aku terlihat sangat buruk. Haaahh. Bicaraku sudah ke mana-mana sekarang.

Aku mendudukkan lagi tubuhku, aku tersenyum saat melihat lelaki yang kucintai di layar tv itu tersenyum lebar. Sedetik kemudian hatiku sakit kembali teringat kenyataan ia akan pergi dariku. Air mataku meluncur kembali.

Aku sangat menyesal memintanya menceraikanku. Sangat. Betapa aku benar-benar bodoh.

“Oppahh.. hhh..hhh.. pleaseehh… come.. hhh.. hhh.. back.. to..hhhiks.. me.. hhiks, “ ujarku terisak.

_________________

 

Aku merasakan ada yang membuka pintu apartemenku. Ah.. mungkin hanya perasaanku saja, karena harapanku akan pulangnya minho oppa terlalu besar. Mana mungkin dini hari seperti ini ada yang datang. Aku kembali memfokuskan pandanganku ke layar tv.

 Tunggu…

Aku mencium wangi yang khas, wangi yang sama dengan wangi yang menempel pada sweater yang aku gunakan.  Aku merasakan ada orang yang berdiri di sampingku. Aku tidak menoleh, mungkin ini hanya halusinasiku saja.

“Choi Sooji, apa yang kau lakukan?” tersirat nada khawatir dalam ucapan tegas dengan suara rendah tersebut.

Aku tak percaya, mungkinkah ia benar-benar ada di sini? Benarkah itu dia? Aku menolehkan wajahku. Ya, aku mendapatinya berdiri di sana, dia suamiku, Choi Minho.

“Oppa,” aku berusaha berbicara, namun suaraku tidak keluar. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku berdiri bangkit memeluknya dengan kencang. Aku kembali menangis kencang di dadanya. Sepertinya ia sedikit terkejut, namun akhirnya ia membalas pelukanku. Ia mengusap lembut kepalaku, lalu punggungku. Ia melakukannya sampai aku tenang.

Aku melepaskan pelukanku dan mendongakkan kepalaku untuk menatap matanya, untuk apa ia ke sini? Apakah untuk menyampaikan pernikahannya?

 “Oppa, Please come back to me! Don’t leave me!” ujarku langsung dengan suara serak. Lebih baik aku mengucapkannya duluan sebelum ia memberitahukan pernikahannya. Ia mengernyitkan dahinya, bingung. Ia lantas merengkuh wajahku dan mengecup bibirku beberapa kali.

“Tolong jangan menikahinya,” mohonku lagi padanya. Aku sudah tidak peduli lagi apa kata orang. Aku wanita bodoh, plin plan, labil, dan sebagainya. Yang penting bagiku sekarang adalah ia kembali menjadi milikku.

Ia tersenyum menatapku, “Bukankah kau yang menyuruhku menikahinya?”

Aku segera menggeleng keras.

“Jjinja?” aku mengangguk cepat. Ia hanya tertawa kecil dan mengacak rambutku. Ia menarikku ke pelukannya. Ia mencium puncak kepalaku, mengelus kepalaku seperti yang sering dilakukannya.

“Aku tidak akan menikah dengannya,” jelasnya. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa, tubuhku menjadi ringan. Semua beban di pundakku seakan-akan pergi entah ke mana. Napasku menjadi lebih ringan.

“Anak itu bukan anakku” aku baru saja akan melontarkan pertanyaan , sebelum ia mengecup bibirku lagi, “anak itu anak mantan kekasihnya. Dia menjebakku karena dia menyukaiku. Dia kecewa mengetahui bahwa aku sudah mempunyai istri yang berkali-kali lipat lebih cantik darinya, karena itu dia melakukan hal kotor itu,”

ia menjelaskannya dengan tenang. Aku hanya terkekeh di dalam pelukannya. Sempat-sempatnya ia menggodaku. Aku menyesal. Seharusnya memang aku percaya padanya dari awal. Aku merasa menjadi seorang yang jahat.

“Apa kau percaya padaku?” tanyanya lembut. Aku hanya mengangguk dalam pelukannya. Ya aku akan selalu mempercayainya. Sampai kapanpun. Aku akan percaya 100% padanya karena aku sadar dialah hidupku dan juga ia memang tak pernah berbohong padaku dan tidak akan pernah.

“Oppa, kau tidak akan meninggalkanku lagi kan?” tanyaku padanya.

Ia tersenyum kecil dan menggeleng.

“Dan Choi Sooji, jangan pernah seperti ini! jangan pernah lakukan ini lagi!” perintahnya dengan wajah sedikit frustasi, ia lantas memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Aku hanya tersenyum lemah, “asal kau tidak meninggalkanku lagi,”

“Never,” ujarnya singkat, lantas menciumku lembut.

Terima kasih, Tuhan. Kau kembalikan ia padaku.

 

END

 

__________________________

 

Note : Halooo ketemu lagi, maaf saya belum nerusin ff yg kemarin… hehehe lagi mentok niiih, terus tadi tiba-tiba ada inspirasinya tentang ini. ini gabungan dari 3 lagu, di cut- cut disesuaikan dengan kebutuhan hehehe, lagunya Sistar19 – Gone Not Around Any Longer , Lady Antebellum – Need You Now , Kim Sunggyu – Only Tears .

Sebenernya awalnya ceritanya nggak kayak gini, cuma karena 1 dan lain hal jadi kayak gini, hehehe. Perasaan sih agak aneh gitu -_-‘

Semoga menghibur yaaa, jangan lupa kesan, pesan, kritik, dan sarannya yaa 😀

Makasiiii 😀

23 responses to “DYING ! (SONGFIC)

  1. huwaaa mimin tanggung jawab/? udh buat anak org nangis TT,TT
    untungnya happy endding
    kalau emang minho engga jadi menikah knp engga langsung pulang aja kasih tau ke suzy?
    ditunggu ff suzy lainnya 😀

Tinggalkan komentar