Telepathy (Chapter 2)

Summary: Chapter 2, Bertemu dengan Haruka di tengah kencan membuat Hanare terkejut.  Ditambah lagi kenyataan yang terjadi pada Sakura, adik dari Kakashi.  Dan kehidupan rumah tangga yang baru pun akan segera dimulai.

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Alternative Universe, Out of Character, Out Character, Supernatural, Romance & Family

Inpired by The Eye (Movie), Soul (K-Drama), Tell Me A Lie (Manga One Shot © Gosho Aoyama), Blue Tears (Manga), Ao no Exorcist (Anime), The Sixth Sense (Hollywood Movie)

Notes: Haruno Sakura as Hatake Sakura, Hanare as Kuraki Hanare, Kuraki Haruka as Hanare’s young sister (OC)

Chapter 2 – Si Tomboy dan Putri yang Ketakutan

Pagi di hari Sabtu yang cerah ini membuat Hanare tersenyum terus.  Rasanya ia tak bisa untuk tidak tersenyum hari ini.  Sudah seminggu sejak kencan buta itu dimana ia menerima lamaran Kakashi, dan hari ini ia akan berkencan.  Ia rasanya tak sabar menanti Kakashi yang akan menjemputnya tak lama lagi.

Ia mendekati jam bersuara di samping telepon dengan berdebar-debar.  Sekarang sudah jam sepuluh.  Haruka sudah pergi sejak jam delapan setelah gadis itu berbaik hati memilihkan baju yang cocok untuknya.  Walaupun Haruka ragu dengan Kakashi, tapi ia menyimpannya sendiri dalam hati.  Dan Hanare selalu tahu akan hal itu.

Suara bel di tekan membuat Hanare terlonjak dari tempatnya.  Dengan terburu-buru ia mengetukkan tongkatnya terlalu keras ke lantai sehingga membuatnya sedikit malu dan bertanya-tanya.  Apakah Kakashi mendengar suara tongkatnya yang beradu dengan lantai?

Ia menguasai diri beberapa saat dan merapikan penampilannya.  Tidak ada salahnya bukan?  Toh dia juga wanita yang berdebar-debar saat akan berkencan. Terlebih lagi ini adalah kencan pertamanya dengan seorang pria.

Tak berapa lama ia pun membuka pintu.  Dan harum aftershave memasuki indera penciumannya dan membuatnya yakin bahwa itu Kakashi.  Hanare tersenyum.

“Hai,” sapa Kakashi.  Suara beratnya membuat Hanare menundukkan kepalanya dan tersenyum malu.

“Tidak ingin minum teh?” tanya Hanare.

“Bagaimana jika langsung saja?”

“Oh, baiklah.” Hanare kembali ke dalam untuk mengambil tasnya.  Di belakang Kakashi mengikutinya.  Saat ia meraih tasnya, Kakashi memegang tangan kiri Hanare yang memegang tongkat.

“Lebih baik ini ditinggalkan saja.”

“Eh?” genggaman tangan Hanare pada tongkat itu terlepas.

“Sebagai ganti tongkat itu, aku yang akan membantumu berjalan.” Ujar Kakashi sambil menggenggam tangan Hanare.

Mendengar itu seketika wajah Hanare memerah.  Lalu keduanya pun keluar dan segera mengunci pintu.

“Kau sendirian?” tanya Kakashi.

“Um.” Hanare mengangguk.  “Haruka sudah pergi bekerja sejak tadi.”

“Ah, gadis yang rajin.” Komentarnya singkat.

Hanare tersenyum lembut.  “Ya yang bisa aku lakukan hanyalah mengurusi rumah saja.”

Kakashi meliriknya dan tersenyum pada gadis itu.  “Itu lebih baik.”

“Setahuku dia bekerja di sebuah toko kue.” Gumamnya.  “Tapi, entahlah.  Aku selalu mendapatinya pulang hingga larut malam.  Terkadang aku cemas akan pekerjaan yang dilakukannya.”

“Kau tenang saja.  Dia memang gadis yang baik.”

Hanare tersenyum.  “Terima kasih. Kau selalu bisa membuatku lebih baik.”

Kakashi lagi-lagi tersenyum walaupun ia sedikit kecewa karena Hanare tak bisa melihatnya.  “Yang benar adalah kau yang membuatku merasa baik.”

Wajah Hanare tersipu malu.  Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan sebelum wajahnya semakin merah.  “Akan kemana kah kita hari ini?”

Kakashi tersenyum tipis.  “Kau suka bunga?”

“Tentu saja.”

“Bagus, kau akan menyukainya Hanare.”

Mereka telah sampai di depan apartemen dimana Kakashi memarkirkan mobilnya dan membantu Hanare untuk duduk di sana.  Tak berapa lama kemudian mobil itu pun melaju menuju taman Ueno.

Hanare turun dari mobil dengan Kakashi yang menggenggam tangannya.  Ia akui bahwa ia merasa gembira sekali hari ini.  Calon suaminya ini memang baru dikenalnya, tapi ia sudah merasa senang dengan adanya pria itu.  Hanare tersenyum sambil menghirup dalam-dalam udara yang ada di sekitarnya.

Beberapa anak kecil yang menerima balon gas tertawa-tawa dan itu semakin membuat Hanare merasa senang hari itu.  Namun, sebuah pikiran yang bukan pikirannya menyeruak masuk.  Pikiran yang tengah ikut senang dan juga menyangkut dirinya.

“Haruka!” seru Hanare.

Kakashi terkejut mendengar seruan itu, seseorang yang memakai kostum beruang dan beberapa anak beserta orang tuanya ikut tersentak kaget mendengar seruan Hanare dan menatapnya aneh.  Kakashi merangkul bahu Hanare, tapi Hanare menjauh dari Kakashi dan mendekati seseorang yang tengah mencegkeram benang-benang yang menahan balon gas itu melayang ke langit.  Walaupun ia tak bisa melihat, tapi ia tahu Haruka kini berdiri di hadapannya.  Karena pikiran Haruka-lah yang telah menuntunnya.

“Haruka!”

“Aneeki?” gumamnya.

Hanare mengulurkan tangannya mencoba meraih tangan Haruka yang sekarang membesar karena kostum beruang.  Untuk memperjelas suaranya, terpaksa Haruka melepas kepala beruang dan mengusap rambutnya yang basah dengan keringat.

“Aneeki?”

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Oi, Hanare…” Kakashi memegang bahu Hanare berusaha menenangkan gadis itu dari keterkejutan.

“Aku… bekerja.” Jawab Haruka sambil tertawa tak enak.

“Bukankah kau bekerja di toko kue?”

“Ah, tentu saja aku bekerja di sana.  Tapi, karena itu hanya paruh waktu jadi yaaa…”

“Kau… aku kan sudah bilang jangan memaksakan diri.” Katanya dengan suara serak.

Haruka menghela nafas. “Kita bicarakan ini di rumah.” Jawab Haruka singkat.  Ia mencoba untuk menghindar sebisa mungkin.  Ia melihat Kakashi dan mengangguk sopan tanpa tersenyum.  “Kuraki Haruka, kuharap kau membuat Aneeki merasa lebih baik dengan kencan kalian.  Jaa ne.”

Haruka kembali memakai kepala beruang itu dan menghampiri kerumunan anak-anak yang baru datang.  Kakashi yang melihat Hanare masih terkejut menarik gadis itu.  Kakashi yang melihat wajah cemas Hanare mengeratkan rangkulannya pada gadis itu dan berusaha menenangkannya.

“Sudahlah, kau tak perlu terlalu mencemaskannya.” Kakashi menuntun gadis itu ke sebuah kursi dan duduk di sana membiarkan Hanare meremas tangannya dengan gelisah.

“Aku… bagaimana bisa aku membiarkannya terus bekerja?  Sedangkan aku… aku…” suara Hanare terhenti dan dia menangis.

Kakashi tersenyum lembut lalu mengusap pipi Hanare yang berair.  “Aku tahu kau sangat menyayanginya.  Aku pun ingin melihatnya terbebas dari pekerjaan dan kembali bersekolah.”

“Oh, Kakashi…” Hanare menundukkan kepalanya dan meneteskan banyak air mata.  “apa yang harus kulakukan?  Aku begitu tak berguna…”

“Jangan pernah mengatakan itu!” seru Kakashi gusar.  “Jangan pernah berpikir kau tidak berguna!”

Hanare terdiam dan menahan isakannya yang mulai terdengar keras.  Kakashi memeluk Hanare dan mengusap kepala bersurai hijau kusam itu.  “Maaf, aku hanya tak suka kau berpikir seperti itu.”

Hanare mencoba mengendalikan dirinya dalam pelukan Kakashi.

“Kau begitu menyayangi Haruka.  Sama seperti aku yang menyayangi Sakura.  Aku pun berharap mereka berdua kembali bersekolah seperti biasa.”

Hanare menjauhkan tubuhnya dari dekapan Kakashi dan menghapus air matanya.  “Sakura… ia tidak pergi sekolah?”

“Tidak.” Jawab Kakashi terdengar lirih.  “Dia sedang sakit.”

“Sakit… apa?  Apa membahayakan nyawanya?”

Kakashi mendengus lelah.  “Entahlah, aku pun tak mengerti Hanare.”

Hanare kini bertanya-tanya.  Dari suara pria itu, ia bisa mendengar bahwa Kakashi sedikit frustasi dengan keadaan adiknya.  Tapi, Hanare tetap tak tahu apa yang ada di pikiran pria itu.

*Telepathy*

Setelah makan siang Kakashi mengajak Hanare untuk memesan gaun pengantin, jelas saja Hanare terkejut mendengar itu. Ia bersikeras menolak itu karena ia pikir ia akan menikah dengan pria itu sekitar dua bulan kemudian, tapi Kakashi mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan semuanya dan acara itu akan diselenggarakan dua minggu lagi.  Jelas saja Hanare langsung limbung.

Dan sekarang Hanare lagi-lagi menuruti pria itu dan beberapa wanita mulai mengukur tubuhnya.  Beberapa kali ia mendesah risih dan setelah semua selesai ia ditarik Kakashi untuk pergi ke sebuah super market.  Ia bilang ingin membelikan makanan ringan kesukaan Sakura.  Hanare yang tahu bahwa nanti ia akan bertemu Sakura mengikuti kemana pria itu menarik tangannya.

Suara ramai-ramai orang-orang berbelanja sampai di telinga Hanare.  Dan secara tak sengaja ia pun mendengar beberapa keluhan wanita-wanita yang berada di sekitarnya.  Sudah lama sekali rasanya ia tak merasakan suasana seperti ini.

“Apakah ada rasa strawberry?” suara seorang wanita yang terdengar dari tempat Hanare dan Kakashi berdiri.

“Ah, chotto mattekudasai.” Suara yang dikenal Hanare menyambut wanita itu. hanare terperanjat sesaat.  Ia hendak beranjak, namun tangan Kakashi mencegahnya.

“Hanare, biarkan saja dia.”

“Kakashi…”

“Dia sedang bekerja.”

“Tapi…”

“Aku tahu perasaanmu.” Sahut Kakashi dengan nada suara tenang.  “Tak lama lagi penderitaannya akan berakhir.  Percayalah!”

Kakashi lagi-lagi menarik tangannya dan menelusuri rak-rak sambil mendorong troli berisi makanan ringan.  Sambil melihat apa saja yang sudah dibelinya, Kakashi menuju kasir sambil menggandeng Hanare dan berpapasan dengan Haruka yang mengangguk pelan ke arahnya sambil membawa kardus besar.

Setelah membayar semua belanjaannya, Kakashi menarik Hanare ke mobilnya yang terparkir di depan super market dan melajukannya menuju rumahnya.   Hanare masih terlihat murung.  Kakashi yang sesekali meliriknya dan menghela nafas.

“Untuk saat ini, kita biarkan saja dia bekerja.  Setelah kita menikah aku akan memasukannya ke sekolah.”

Hening.  Namun, tak berapa lama kemudian Hanare bersuara.

“Kakashi,”

“Hn?”

“Terima kasih.” Ucapnya.  “Tapi, sampai sekarang aku tak mengerti.  Kenapa kau ingin menikah denganku?”

Kakashi menggenggam tangan Hanare sambil berusaha fokus menyetir.  “Kau tidak perlu memikirkan itu.  Yang harus kau tahu adalah aku akan selalu berada di sisimu.  Apa pun yang terjadi.”

Rasanya perut Hanare tergelitik mendengar itu.  “Kau baik sekali.”

Kakashi tersenyum.  “Nah, kita sudah sampai.”  Kakashi melepaskan sabuk pengamannya dan juga Hanare lalu menuntun gadis itu keluar.

Okaerinasai, Kakashi-sama.”

Kakashi mengangguk pada penjaga pintu gerbang depan dan membawa Hanare masuk ke dalam rumah.  Di pintu masuk mereka dikejutkan oleh seorang wanita yang cepat-cepat menyambut Kakashi dan Hanare.  Wanita itu menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk bicara.

“Kakashi-sama, Sakura-sama…”

“Ada apa dengannya?”

Wanita itu menelan ludah.  Rasanya ia sulit untuk mengatakan apa yang tengah terjadi pada Kakashi.  Dengan wajah penuh kekhawatiran Kakashi merangkul Hanare dan menggiring gadis itu sambil mengikuti wanita tadi.  Hanare menyeret langkahnya cepat-cepat saat merasakan genggaman tangan Kakashi mengerat.

Mereka menaiki anak tangga dan menelusuri lorong yang panjang sampai terdengar suara jeritan yang memekakan telinga.  Hanare terkejut bukan main.  Suara seroang gadis yang terdengar histeris.

“Hanare, tunggulah di sini bersama Fujioka.” ucap Kakashi lalu berlari masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintu besar kamar itu terbuka lebar.

“TIDAAAAAAAAAK!” jeritan ketakutan itu semakin menjadi-jadi. “PERGIIIIIIIIIIII!”

“Sakura!” Kakashi memegangi seorang gadis remaja yang menangis sambil melihat ke sudut ruangan dengan ketakutan.  “Kalian sudah memanggil Akasuna Sensei?”

“Sudah.  Dia sedang dalam perjalanan.” Jawab beberapa pria yang tengah memegangi kaki dan tangan Sakura yang meronta.

“Sakura, tenanglah!” Kakashi menenggelamkan kepala merah muda itu di dadanya.  “Aku di sini, Sakura.”

Sakura mulai terlihat tenang dan berhenti meronta. “Onii… sama.” Isaknya sambil menangis.  “Dia datang lagi.”

Hanare yang menunggu di luar merasa prihatin dengan keadaan gadis itu.  “Sumimasen,” Hanare mencoba bertanya pada wanita yang bernama Fujioka itu.

“Ah, maaf mengabaikan Anda.  Saya tahu Anda pasti ingin mengetahui apa yang terjadi pada Sakura-sama.”

“Ee…” jawab Hanare sedikit malu akan rasa ingin tahunya.

“Sakura-sama sudah seperti itu sejak setengah tahun yang lalu.  Akasuna Sensei mengatakan bahwa Sakura-sama mengalami halusinasi.”

‘Aku takut~’

Hanare berjengit begitu merasakan pikiran Sakura menguat di kepalanya seakan-akan bicara padanya.

‘Kenapa tak ada yang percaya padaku.  Orang-orang itu…’

Hanare mematung di tempatnya.  Ia menyadari dengan jelas bahwa Sakura tidak mengalami halusinasi.  Bisa saja yang dilihat gadis itu tidak dapat dilihat oleh orang lain.

‘Orang-orang yang sudah mati itu… hiks~’

Hanare semakin terkejut.

‘Kenapa mereka mendatangiku?  Tolong…. aku takut.  Kenapa kalian semua tidak ada yang percaya padaku.’

Hanare mengulurkan tangannya ke depan dan mulai berjalan masuk ke dalam kamar dengan perlahan.

“Ah, maaf.  Kakashi-sama mengatakan Anda…”

“Tidak apa-apa. Aku ingin bicara dengan Sakura.”

Fujioka menatapnya selama beberapa saat sampai akhirnya wanita itu menuntun Hanare masuk.  Merasa sudah lebih dekat, mereka berhenti. “Aku percaya.”

“Eh?” Sakura melepaskan pelukan Kakashi dan mengangkat wajahnya untuk menatap Hanare.

“Aku percaya padamu.”

Kakashi mengernyit heran dan menatap Hanare tak mengerti.  Beberapa orang yang tadi menangani Sakura, termasuk Fujioka saling pandang tak mengerti.

“Mereka datang padamu bukan untuk membuatmu takut.” Suara Hanare yang tenang membuat suasana hening itu terasa aneh.  “Mungkin saja ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan.” Hanare tersenyum menenangkan.  “Jadi, lawanlah rasa takutmu.”

Sakura terpana sesaat mendengar itu.  “Kau percaya padaku?” tanyanya.

“Tentu saja.” Jawab Hanare sambil tersenyum lembut.  “Karena kau istimewa.”

“Hiks…” isakan kecil Sakura membuat Kakashi terpana beberapa saat.  Dan dalam hitungan detik Sakura melompat dari tempat tidurnya dan memeluk Hanare.

*Telepathy*

“Aku terkejut.” Ungkap Kakashi jujur.  Mereka kini dalam mobil yang tengah melaju pada menuju apartemen Hanare.  “Baru kali ini Sakura terlihat seperti dulu lagi.”

“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”

“Sasori bilang dia mengalami halusinasi.”

“Bukan itu.” sahut Hanare.  “Aku bertanya apa yang terjadi setengah tahun yang lalu.”

“Ah… itu.” Kakashi terdengar enggan bercerita.

Hanare menunggu.

“Setengah tahun yang lalu, saat itu musim gugur.  Aku ditelepon oleh wali kelas Sakura yang mengatakan bahwa Sakura tenggelam di kolam renang sekolah.”

Hanare terkejut mendengar itu. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Aku pun tidak tahu.  Hanya saja, wali kelasnya saat itu menemukannya terapung di kolam renang.  Untungnya, Uchiha Sensei memberikan pertolongan pertama dan itu menyelamatkan Sakura.”

“Yokatta.”

“Tapi, setelah hari itu Sakura selalu ketakutan tak jelas seperti tadi.”

“Kakashi,”

“Hn?”

“Kau percaya pada Sakura, kan?”

Kakashi terdiam.  Genggamannya pada setir mobil menguat.  “Aku… tidak tahu.”

Hanare menundukkan kepalanya. “Kakashi, Sakura sama sekali tidak gila ataupun berhalusinasi..”

“Hanare, jangan katakan kau percaya…”

“Kau kakaknya, kenapa kau begitu tega sekali tidak mempercayai ucapannya.” Sela Hanare.  “Ketakutannya sungguh-sungguh.  Dia tidak sekedar berhalusinasi.”

Kakashi terdiam.

“Di dunia ini ada beberapa orang diberikan kelebihan istimewa.” Ucap Hanare pelan-pelan.  “Kau mungkin tidak akan pernah mengerti ini, tapi ini betul-betul ada.”

Mobil berhenti.  Kakashi cepat-cepat keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Hanare.

“Terima kasih untuk kencan hari ini.”

Kakashi tersenyum.  Menyadari senyumannya tak terlihat oleh Hanare Kakashi menggaruk belakang kepalanya dengan sedikit canggung.  “Ya, tentu saja.”

“Kurasa sampai sini saja.  Kau pasti sangat kelelaahan.”

“Hn… tidak juga.”

“Sudah ya.” Hanare berbalik, namun tangan Kakashi menaik pergelangan tangannya.  Menghempaskan tubuh Hanare ke arahnya sambil melingkarkan tangannya ke pinggang gadis itu dan menciumnya.

Hanare terkejut.  Setelah Kakashi melepaskan ciumannya ia mematung beberapa saat.  “Kakashi…”

“Mimpi indah.”

Setelahnya ia hanya mendengar suara pintu mobil yang ditutup dengan suara mesin mobil yang dinyalakan dan berlalu.

*Telepathy*

“Hoaaaam!” suara kuapan lebar Haruka membuat Hanare mengernyit sebal.

“Kau kurang tidur lagi?”

“Hum… tidak juga.  Lagi pula semalam aku diijinkan pulang lebih awal oleh atasanku.”

“Kau bekerja di tiga tempat?” Hanare menggenggam tongkatnya dengan erat sambil tetap duduk tenang dan mengendalikan dirinya.

“Yah, bisa dikaatakan seperti itu.” jawabnya sambil mengambil roti yang sudah berjamur sedikit di dalam lemari.  Sambil menyingkirkan jamurnya ia pun melahap roti itu dan duduk di sofa tua tak jauh dari Hanare.  Ia sudah mendugaa bahwa Hanare sudah tahu hal itu.

“Kukira kau bekerja di satu tempat.”

Haruka mengunyah roti yang sudah mulai tak enak itu sambil berpikir.  “Untuk menghabiskan waktu.  Lagi pula aku ingin membeli sesuatu.”

“Kau menyembunyikan sesuatu bukan?”

Haruka tersedak rotinya.  Cepat-cepat ia berlari ke dapur dan menuang air di dalam gelas lelu meneguknya.  “Hampir saja.”

“Jadi, benar?  Biaya sewa apartemen ini naik?”

Haruka menarik-narik poninya dan berkata tidak enak, “Ya…. begitulah.”

Hanare menghembuskan nafas.  “Bisakah kau berhenti bekerja?”

Haruka tersentak.  Ia menatap Hanare tak percaya.  “Kau gila.  Jika aku berhenti bekerja, bagaimana dengan biaya hidup kita?  Uang tidak akan datang dari langit, bukan?”

Hanare menggeleng.  “Dua minggu lagi aku akan menikah.  Aku harap kau berhenti bekerja setelah aku menikah dan melanjutkan sekolah.”

“Sekolah?” suara Haruka meninggi.

“Tenang saja.  Kau tidak akan kembali ke sekolah lamamu.” Ujarnya dengan tenang.  “Aku dan Kakashi sudah membicarakan ini.”

“Tapi… aku tidak terbiasa menerima apa pun yang diberikan orang secara cuma-cuma.”

“Kau tidak perlu khawatir.  Lagi pula Kakashi menginginkan kau kembali bersekolah sekaligus menemani adiknya yang baru sembuh.”

Haruka meneguk air minumnya lagi dan tertawa meremehkan.  “Aku sudah dua puluh tahun.  Yang benar saja?  Masa aku harus kembali ke kelas dua SMA?”

“Tidak ada pilihan lain.  Jika kau ingin masuk Universitas kau harus menamatkan sekolahmu dulu.”

Haruka terdiam.

“Jangan khawatir.  Kami melakukan ini untuk kebaikanmu.”

*Telepathy*

Sakura mencengkeram pinggiran wastafel dengan tangan gemetaran.  Ia mencoba menguatkan dirinya sendiri dari ketakutan.  Dengan perlahan ia membuka matanya, baru beberapa detik ia membuka mata, ia memaksa matanya untuk menutup lagi.  Ia tak sanggup.

Wanita itu mendatanginya lagi.  Sambil mengingat-ngingat ucapan Hanare padanya Sakura memantapkan hatinya dan membuka matanya.  Wanita itu masih berada di belakangnya.  Wanita berambut panjang hitam dengan tetesan darah yang turun dari kepalanya.  Wajah wanita itu terlihat sedih.

“Obasan,” panggil Sakura dengan suara bergetar.  “ada yang bisa kubantu?”

Wanita itu mengangkat kepalanya.  Mata gelapnya balas menatap mata Sakura yang berair.  Wajah yang terlihat sedih itu tiba-tiba terlihat sedikit bercahaya.  Bibir pucat kering itu menyuingkan senyumannya pada Sakura.

Dan saat itu, Sakura merasa bahwa wanita itu tidak semenakutkan yang ia kira.

To be continue…

Yak, makasih banget untuk respon fict ini.  Semoga chap selanjutnya sesuai jadwal.

12 responses to “Telepathy (Chapter 2)

  1. Oh jadi stelah tenggelem, sakura jd kyk pnya indera keenam gtu ya??
    Makin penasaran, baca next chapternya ah……….
    Hehhe…………..

  2. Wahhhh kerenz ceritanya aku suka banget dengan couple kakashi and hanare di naruto ….tapi mudah2 kakashi nikahin hanare karena cinta yang tulusss

  3. Makin seru neh crtny… Tnyt sakura pny six sense. Itu sakura bsa dpt kekuatanny gr2 tenggelam apa emg dri dlu udh pny cma gr2 kecelakaan itu bru muncul???

    Msh bingung knp ya kakashi mw nikah ma hanare? Bru awal kenal udh mw nikah??? Ada apakah gerangan??? Di tunggu ya chapter selanjutny…

  4. AaaaaaaAaaaaaaAaaaaaa. . . . . . . . Tbc dadakan T^T si Sakura keren pny 6 sense tp, ngliat setan –”
    Kakashi gk pny telepati, tah? Nxt part saia nanti, thor. Ganbatte!!

  5. Msih pnasaran knpa si kakashi mu nikahin hana?
    Ngerti prasaan sakura,abis mlihat hal yg tak bsa dilihat org laen tuh mmg ga enak (-_-#)
    Next lin (⌒_⌒)

  6. wwwooaaaaa…
    Cerita’a makin seru,, jadi Sakura itu punya Six Sense ya!!
    Hanare keren, bisa tau isi pikiran orang lain..
    Tapi aku masih bingung sm Kakashi, sbnr’a dia tu bnrn suka sm Hanare g si?? Taw jgn2 dia punya maksud n tujuan lg??
    Ditunggu chap 3 nya ja..

    Jia Jung

Tinggalkan komentar