Sakura’s Keeper (Part 5)

“Apa sebegitu bencinya kau padaku, Sakura?” tanya pemuda itu. “Apa aku begitu bersalah padamu sehingga kau benar-benar melupakanku? Aku Sasuke.”

Dan aku tahu diriku menahan nafas mendengarnya.

Part 5

Aku terpaku memandangnya. Memandang cinta pertamaku nyaris tanpa berkedip. Jika saja rasa perih lukaku tidak datang tiba-tiba, mungkin aku masih tetap terhipnotis untuk terus memandangnya.

Aku menatap luka di sekitar lututku. Banyak tanah yang menempel di sana dan luka-luka goresan terpeta jelas di sekitar tangan dan kakiku. Aku meringis pelan. Tetapi dalam hati, aku benar-benar bersyukur karena aku masih bisa bernafas sampai saat itu. Lalu tiba-tiba—

“Sasuke!” Aku memekik pelan saat kurasakan tangan Sasuke telah mengangkat tubuhku. Hatiku langsung berdegup kencang. Gerakannya yang begitu tiba-tiba benar-benar mengagetkanku. Dan rasanya, aku sulit sekali bernafas. Apalagi ketika aku menatap wajahnya yang dekat sekali denganku.

Sasuke tidak memandangku. Ia memandang lurus jalan di depannya. Seakan di ujung jalan sana, ada sebuah pintu besar yang menuntun kami ke tempat terang. Dan seakan jalan yang kami lalui begitu indah dan tenang. Ia tidak terusik oleh kegelapan malam yang menyeramkan. Tidak terusik dengan dedaunan yang bergoyang tertiup angin malam.

Aku memejamkan mataku. Aku berusaha membuat nyaman diriku sendiri.

Jujur saja, posisiku ini sungguh tak enak. Aku seperti mayat hidup. Aku digendongnya, tapi aku tak tahu harus menyenderkan kepalaku di mana. Terus mengangkat kepala sementara tubuhku digendong Sasuke? Pegal sekali.

Sebelum segala pemikiran mulukku selesai kupikirkan, tangan Sasuke telah bergerak menyenderkan kepalaku di dadanya. Dan lagi, gerakannya ini membuatku merasa serba salah. Bukannya merasa nyaman, aku justru merasa semakin tak nyaman. Bagaimana aku bisa merasa nyaman jika aku dapat mendengar detak jantung orang yang pernah sangat kusukai itu?

Oh, Sasuke. Tak tahukah kau kalau sesungguhnya ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan padamu? Dan tak tahukah juga kau kalau sesungguhnya aku selalu tak bisa memulai percakapan denganmu?

Di dalam sini, di dalam hatiku, selalu ada bagian kecil yang tertinggal tentangmu. Meski waktu berlalu dengan begitu cepat, meski waktu membawa Sai ke dalam hidupku, namun saat kau menampakkan dirimu lagi, seakan kehilangan ingatan selama bertahun-tahun, aku langsung ingin menghampirimu dan mengatakan betapa aku merindukanmu. Tapi aku tak mungkin melakukannya. Aku tak bisa melakukannya. Apalagi saat aku melihatmu seperti ini.

Membuka mata atau memejamkan mataku, kini rasanya tak jauh berbeda. Aku selalu membayangkan wajahmu, Sasuke. Tepat ketika kau menyelamatkanku. Membuatku kembali ke situasi seperti dulu.

“Sasuke?”

Aku langsung menoleh ke sumber suara. Kulihat seorang gadis yang sudah kukenal. Buru-buru, aku menurunkan diri dari gendongan Sasuke.

“Aduh,” kataku tiba-tiba karena kakiku terkilir.

Sasuke berlutut di depanku. Ia mengangkat pergelangan kaki kananku yang sakit. Dan dengan muka memerah, aku memandang teman SMP-ku, Erika Yanahara.

“Kau kenapa, Sakura?” tanya Erika terkejut begitu ia melihat tubuhku penuh luka. Keterkejutannya itu semakin besar tatkala ia mengingat bahwa aku nyasar ke tenda perkemahan murid SMA-nya dengan Sasuke Uchiha yang mengantarkanku.

“Bisa tolong bawakan obat-obatan?” tanya Sasuke pelan kepada Erika. Setelah Erika mengangguk singkat dan pergi, Sasuke lalu mengarahkan pandangannya kepadaku. “Aku akan mengobatimu sebelum mengantarmu ke perkemahanmu,” katanya pelan. Ia lalu melepaskan jaket biru yang dikenakannya. Dan tanpa aba-aba dari siapa pun, ia langsung menggelarkannya di tanah tempat aku ingin duduk.

“Tak perlu,” kataku.

Sasuke pura-pura tak mendengar. Ia memaksaku duduk dengan tangannya yang menyentuhku lembut. Kemudian, sembari menunggu kedatangan Erika dan peralatan obat-obatannya, aku mencari bahan obrolan yang menarik dengan Sasuke.

“Eh, aku tak tahu kalau sekolahmu punya jadwal perkemahan yang sama dengan sekolahku,” kataku kaku.

“Kalau kau tahu, dan seandainya kau benar-benar tahu, apa itu akan mengubah sesuatu?” tanya Sasuke pelan.

Aku mengutuk diriku sendiri. Aku salah mengambil topik obrolan. Atau mungkin, seharusnya aku tidak perlu memaksakan diri mencari bahan obrolan dengan Sasuke Uchiha.

“Siapa dia?” tanya Sasuke pelan.

Aku menggambar asal-asalan permukaan tanah lembab perkemahan dengan jemariku. Tak ada lagi keinginan yang lebih besar dari keinginanku untuk kembali ke perkemahan dan berceloteh bersama teman-temanku.

Aku bukannya tidak suka bertemu lagi dengan Sasuke Uchiha. Aku hanya terlalu terkejut. Seandainya aku tahu aku akan bertemu dengannya di sini, aku pasti sudah memikirkan sesuatu yang akan kulakukan. Sesuatu, yang jelas sekali akan kuambil, yaitu tidak berkeliaran ke mana pun di malam hari.

“Siapa laki-laki tempo hari itu, Sakura?” tanya Sasuke lagi.

“Eh?” ujarku pelan. “Kau bertanya padaku?”

“Tentu saja,” jawab Sasuke tanpa memandangku. Ia mengarahkan pandangannya ke arah api unggun yang menyala jauh di depan kami. Pandangannya begitu lurus ke arah sana, tapi rasanya aku seperti melihatnya sedang melotot di depan wajahku.

“Laki-laki yang mana?” balasku pelan.

“Laki-laki yang waktu itu mengantarmu pulang,” jawab Sasuke. “Aku ingin tahu siapa dia.”

Aku menghembuskan nafasku. Jangan panik, Sakura!

“Namanya Sai,” kataku pelan. “Dia teman sekelasku.”

“Oh ya?” ujar Sasuke sangsi. Ia alihkan perhatiannya yang semula ke arah api unggun kepadaku. “Apa dia benar-benar bukan pacarmu?” tambahnya. “Bukan orang yang istimewa?”

“Kau ini bicara apa, sih?” balasku dengan sesekali diselingi tawa paksa untuk mencairkan suasana. Sayangnya, bukannya suasana berubah menjadi cair, aku malah menciptakan ketegangan di antara kami berdua.

“Aku bisa melihatnya, Sakura, jujur saja,” kata Sasuke pelan.

Aku langsung menelan ludah karena gugup. Aku berusaha menghindari mata onyx-nya yang sedang mengarah kepadaku.

“Aku bisa melihat kalau hubungan kalian lebih dari teman,” kata Sasuke lagi.

Aku menggeleng pelan. Bagaimana bisa dia menyangka hubunganku dengan Sai lebih dari teman jika ia sendiri baru sekali melihat aku dan Sai bersama? Lagipula, dipikirkan sejauh apa pun, hubunganku dengan Sai memang hanya teman. Hanya teman meskipun Sai sudah menyatakan perasaannya padaku. Hanya teman meskipun kuakui aku sempat menyukainya waktu itu.

“Omong-omong, sekarang siapa gadis beruntung yang telah menjadi pacarmu?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

Aku tahu menanyai Sasuke siapa pacarnya sekarang sangatlah membuatku tak nyaman. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana merahnya wajahku nanti jika Sasuke telah menyebutkan siapa nama pacarnya. Tetapi dibandingkan itu semua, disudutkan karena hubunganku dengan Sai lebih membuat hidupku terasa begitu buruk.

“Aku tidak percaya kau menanyakan hal itu,” kata Sasuke pelan, menanggapi pertanyaanku.

Aku menolehkan kepalaku ke arahnya. Semula kupikir, Sasuke akan menyebutkan siapa nama kekasih barunya. Atau jika dia tak punya kekasih, kupikir dia mau mendiskusikan siapa gadis yang menarik hatinya padaku. Namun nyatanya, semua yang kupikirkan salah.

“Kau pergi dan menuduhku mengencanimu karena kasihan,” kata Sasuke. “Ingatkah kau pada hal itu? Lalu bagaimana kau bisa mengira aku mampu memikirkan gadis lain sedangkan kau tak pernah kembali untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi waktu itu?”

Aku mengerjapkan mataku karena bingung. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku kecuali kata ‘apa maksudmu.’

“Kau salah menilai diriku, Sakura,” kata Sasuke pada akhirnya.

Aku tidak bisa bertanya lagi padanya. Erika Yanahara telah datang dengan peralatan obat-obatannya. Lantas, aku pun membisu. Sasuke juga. Kami berdua membiarkan Erika bergabung di sana dan melihat ke arah kami dengan pandangan tak enak.

“Apa kalian memang janjian bertemu?” tanya Erika ragu-ragu.

Aku menggeleng pelan. Sementara itu, Sasuke mengambil obat merah untuk luka kakiku dari tangan Erika.

“Ah, hentikan itu!” perintahku. Aku berusaha merebut obat merah dari tangan Sasuke. Sangat tidak asyik membuat diriku membeku membiarkan orang yang sepertinya marah kepadaku mengobati luka-lukaku.

Sasuke tidak berkata apa-apa saat tanganku berusaha merebut obat merah dari tangannya. Ia tetap mengobatiku dengan serius tanpa terganggu dengan usahaku yang nampaknya sia-sia.

“Kalian lucu, ya?” kata Erika. “Mengapa tidak jadian lagi saja?”

“Tidak akan,” kataku spontan. “Mana mungkin aku bisa jadian lagi dengannya. Memangnya aku masih mau dikasihani seperti wak—”

“Sudah selesai!” kata Sasuke tiba-tiba dengan suaranya yang cukup kencang.

Aku terlonjak kaget. Erika juga kaget. Biasanya Sasuke tidak pernah berbicara dengan volume suara yang kencang seperti itu. Dan lagi, biasanya Sasuke tidak pernah memperlihatkan ekspresi marah atau kecewanya pada siapa pun. Ekspresinya selalu datar. Tapi tidak kali ini.

“Kalau ada yang bertanya ke mana perginya aku, tolong kau katakan pada mereka bahwa aku mengantar temanku yang terluka,” kata Sasuke pada Erika. Ia lalu beranjak berdiri dari duduknya. “Kau bisa berdiri, Sakura?”

“Eh, iya,” kataku gugup. Aku pun buru-buru berdiri kemudian mengambil jaket biru Sasuke yang tadi kududuki. Ketika aku mengulurkan jaket itu ke arah Sasuke, bukannya mengambilnya lalu memakainya atau apa, Sasuke malah membuangnya ke tanah.

“Tunggu sebentar,” katanya sebelum ia pergi masuk ke dalam salah satu tenda.

“Apa kau membuatnya marah, Sakura?” tanya Erika begitu Sasuke menghilang. “Sepanjang tahun ajaran di SMA, aku belum pernah melihatnya marah seperti itu.”

Ah, aku sekarang benar-benar takut. Dan menyesal. Semua ucapan yang keluar dari mulutku pasti menyakiti perasaannya. Tapi, bagian yang mana?

“Aku ingin tanya satu hal,” kataku. “Kau tahu siapa gadis yang menolak Sasuke?”

Erika mengerutkan keningnya. “Menolak Sasuke?” ulang Erika keheranan. “Menolak Sasuke?”

“Iya, aku ingin tahu siapa gadis yang menolak Sasuke,” kataku. “Aku pasti telah salah menyinggung soal gadis yang telah menolaknya.”

“Satu-satunya gadis yang menolaknya hanyalah kamu, Sakura!” kata Erika. “Tak ada satu pun gadis yang didekatinya selama ini. Yang ada hanyalah banyak gadis yang berusaha mendekatinya. Ia membentengi dirinya sendiri. Kurasa ia benar-benar berharap lebih padamu.”

Aku terdiam.

Mengharap lebih? Sasuke mengharap lebih padaku?

“Apa kalian tidak putus secara baik-baik?” tanya Erika lagi. “Apa kau—maaf, Sakura—apa kau selingkuh waktu itu?”

Aku menggeleng cepat-cepat. “Tidak,” jawabku. “Aku mana mungkin berani selingkuh. Aku hanya—hanya realistis. Tak mungkin Sasuke benar-benar menyukaiku. Seperti kata Karin, Sasuke mengencaniku karena kasihan.”

“Kalau begitu, kau tertipu,” kata Erika singkat. “Coba saja kau pikir! Jika ia mengencanimu karena kasihan, mengapa ia tidak kasihan pada Karin yang lebih dulu menyukainya?”

Aku terdiam lagi.

Sepertinya, aku benar-benar salah. Dan sepertinya, kini aku tahu mengapa Sasuke marah kepadaku.

***

“Apa yang Erika bicarakan padamu?”

Aku berjalan menyusuri jalan yang gelap bersama Sasuke Uchiha. Tubuhku terasa hangat dengan jaket klub pecinta alam yang dipinjamkan Sasuke untukku.

“Banyak hal,” jawabku pelan.

“Soal waktu itu?”

Aku menahan nafas. Dengan susah payah, kukatakan ‘ya’ kepadanya.

“Lalu?” tanya Sasuke. “Apa sekarang kau ingin mengasihaniku?”

Aku berhenti berjalan.

“Kenapa kau berhenti?” tanya Sasuke. Sama sepertiku, ia pun terpaksa berhenti. “Sudah cukup malam untuk menikmati jalan seseram ini.”

“Dengar!” kataku tak peduli. “Aku tidak mengasihanimu. Aku tidak mungkin mengasihanimu. Kaulah yang mengasihaniku.”

“Oh, itu lagi,” kata Sasuke kesal. “Memangnya aku orang yang seiba itu?”

“Kau—pikirkanlah, Sasuke Uchiha!” kataku. “Kau itu populer. Wajar jika kau mengasihaniku karena selama ini aku salah menilai dirimu. Dan setelah aku tahu segalanya, semua telah berubah.”

“Kau yang pantas mengasihaniku,” kata Sasuke. “Selama bertahun-tahun, aku tidak maju satu langkah pun dari bayang-bayang masa laluku denganmu. Wajar jika kau mengasihaniku karena aku bertepuk sebelah tangan denganmu.”

Aku menatap Sasuke tak percaya.

“Banyak hal yang ingin kukatakan padamu,” kata Sasuke pelan. Rautnya melunak. Ia kembali memandangku dengan tatapannya yang menghanyutkan. “Dan saking banyaknya, tak ada lagi yang mampu kuingat selain seberapa besar rasa sukaku padamu.”

Aku mengalihkan pandanganku. Aku tidak bisa menjalani semua ini. Aku telah—begitu kejam padanya. Aku juga telah begitu kejam pada diriku sendiri. Dan pada Sai. Dan pada teman-temanku yang lain karena sikap plin-planku.

“Aduh.”

Sasuke langsung pergi menghampiriku. Ia menopangku untuk tetap berdiri. Tampaknya kakiku terkilir lagi.

“Apa perkemahanmu masih jauh?” tanya Sasuke.

“Lumayan,” jawabku. “Akan membutuhkan waktu cukup lama jika kau pergi menemaniku seperti ini. Lebih baik kau kembali ke perkemahanmu.”

Sasuke tidak menyahut. Karena bingung harus melakukan apa, aku berusaha berjalan dengan menyeret kakiku yang terkilir. Namun sebelum itu terjadi, Sasuke menarik tanganku.

“Naiklah!”

“Apa?” tanyaku terkejut.

Sasuke Uchiha sudah setengah berjongkok di sampingku. Aku tahu apa maksudnya bersikap seperti itu tanpa perlu ia menjelaskan kepadaku.

“Tidak!”

“Dan membuatku kembali ke perkemahan begitu malam karena mengantarkan gadis yang melangkah seperti siput?” ujar Sasuke dengan kecepatan berbicara yang luar biasa. “Naiklah. Atau kau ingin aku menggendongmu seperti seorang putri lagi?”

Aku menghela nafasku. Dengan sangat terpaksa, aku naik ke atas punggungnya.

“Aku tidak berat, kan?” tanyaku takut-takut.

“Tidak,” jawab Sasuke. “Kau malah terlalu ringan. Kau tidak anorexia, kan?”

Aku memukul pelan kepalanya. “Enak saja,” kataku.

Aku dan Sasuke lalu tertawa.

Ini memang aneh. Sekarang aku begitu nyaman di dekatnya. Bisa tertawa bercanda begitu lepas seperti saat ini, sangatlah berbanding terbalik dengan percakapan panas kami yang penuh emosi sebelumnya. Tapi ada satu hal yang tak berubah. Detak jantungku, tetap memburu. Berdetak begitu kencang dengan melodi yang sungguh indah. Melodi jantungku yang seakan menari-nari di atas dedaunan yang ditetesi embun pagi. Melodi jantungku—sedang mengikrarkan sekeras mungkin bahwa hatiku kembali merasa jatuh cinta.

***

Dan cinta itu—rumit.

Aku turun dari punggung Sasuke dengan raut tak enak. Melihat wajah Sai seperti kepiting rebus, lalu wajah Naruto yang tak bisa kutafsirkan apa maksudnya itu, dan wajah teman-teman perempuanku yang begitu penasaran.

“Kau menghilang ke mana, sih?” tanya Ino begitu aku sampai di perkemahanku. Ia dan Tenten langsung memelukku.

“Maaf,” kataku pelan. “Tadi aku hanya ingin menenangkan diri. Lalu aku tersesat dan nyaris jatuh ke jurang.”

“Jurang?” ulang Ino dan Tenten tak percaya.

“Tapi aku baik-baik saja,” kataku cepat-cepat. “Temanku telah menyelamatkanku. Kebetulan dia juga sedang berkemah di daerah sekitar tempatku tersesat. Namanya—”

“Aku Sasuke Uchiha,” kata Sasuke memperkenalkan dirinya. Ia membungkuk kecil sebagai tanda penghormatan dan sopan santun.

“Sasuke?”

Aku berharap Ino dan Tenten-lah yang paling terkejut mendengar nama pemuda yang mengantarku. Namun begitu melihat Sai mengerutkan keningnya, lalu secara spontan pemuda itu berujar tak percaya, aku tahu bahwa dialah yang paling terkejut mendengar nama Sasuke Uchiha.

“Aku tidak bisa lama-lama,” kata Sasuke pelan. “Kau sudah merasa lebih baik, Sakura?”

“Ya, terima kasih,” kataku.

Sasuke mengangguk. “Aku duluan, kalau begitu.”

Sasuke sudah membalikkan tubuhnya. Jika saja aku tak ingat untuk mengembalikan jaket klubnya, aku tak mungkin menghentikannya.

“Tunggu!” kataku dan Sai berbarengan.

“Aku tunggu kau di tenda,” kata Ino tiba-tiba.

“Aku juga,” kata Tenten.

“Ah, aku senang kau sudah kembali, Sakura,” kata Naruto. “Tapi aku masuk ke tenda duluan, ya!”

Semua orang rasanya mengerti. Dan karena mereka semua mengerti, mereka meninggalkan aku sendiri di antara Sasuke dan Sai.

Aku bingung harus menyebut ini keberuntungan atau kesialan. Apakah aku beruntung karena teman-temanku yang lain tak ingin sok ikut campur di tempat kejadian? Apakah aku justru sial harus menghadapi dua pemuda itu sekaligus tanpa ada alasan untuk mengelak?

“Aku ingin mengembalikan ini,” kataku seraya menyerahkan jaket klub pada Sasuke. “Sekali lagi terima kasih. Dan—aku ke tenda duluan, ya! Sai juga harus cepat tidur. Ini sudah malam. Kau juga harus segera kembali, Sasuke!”

“Kau tak perlu mengkhawatirkanku,” kata Sasuke pelan.

Aku, sedikitnya, merasa beruntung karena dibiarkan bebas pergi dari arena menyeramkan itu. Namun tentu saja, aku tak ingin meninggalkan kesempatan untuk tahu apa yang mereka bicarakan tanpaku di sana.

“Kau Sai, ya?” tanya Sasuke pelan. “Kita sempat bertemu di jalan raya waktu itu.”

“Benar,” kata Sai dengan suara sama pelannya seperti Sasuke. “Bedanya, aku sudah mengetahui namamu jauh sebelum bertemu denganmu.”

“Oh ya?”

“Ya,” kata Sai tegas. “Jika kau tak keberatan, aku ingin memastikan sesuatu. Apakah kau mantan pacar Sakura?”

“Ya.”

Sai mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.

“Lalu, apa kau sudah menyatakan perasaanmu padanya?” tanya Sasuke tiba-tiba.

Aku seperti mau mati. Di tempatku bersembunyi, rasanya aku mau pingsan atau mati atau apalah karena mendengar Sasuke secara spontan bertanya seperti itu pada Sai.

“Ya,” jawab Sai pelan setelah beberapa detik berlalu dalam keheningan.

“Sudah kuduga,” kata Sasuke.

“Kau sudah menduganya?” tanya Sai keheranan.

“Tentu,” kata Sasuke. “Aku sudah menduga kalau kau pemuda yang cukup beruntung untuk disukainya, jadi kau pasti akan langsung menyatakan perasaanmu.”

“Apa?” tanyaku tak percaya.

Aduh, aku tersadar bahwa aku keceplosan! Aku kan sedang menguping. Tidak lucu jika aku ketahuan menguping obrolan mereka berdua di sini.

Dengan kemampuan lari yang luar biasa, aku pun segera pergi. Aku cukup sakit setelahnya karena kakiku sebenarnya tidak dalam keadaan prima.

Saat kutidurkan tubuhku di dalam tenda, aku tidak bisa melupakan apa yang dikatakan Sasuke. Pemuda itu—ia salah paham. Orang yang membuat aku jatuh cinta saat ini, bukanlah Sai.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?

***

Besok kami akan pulang dari perkemahan ini. Itu artinya tinggal semalam lagi kami berkemah di tempat ini.

Aku mengerti mengapa sekarang teman-teman sekolah maupun teman sekelasku sibuk menggunakan sisa waktu berkemah untuk acara berpacaran mereka yang sungguh romantis. Agaknya aku iri pada mereka semua.

“Kau ingin berduaan dengan Shikamaru, kan?” tanyaku pada Ino.

Pagi itu aku sudah merasa bahwa Ino dan Tenten benar-benar merasa bersalah atas kejadian semalam. Sejak fajar menyingsing, kedua sahabatku itu tidak pergi sedetik pun dari sisiku. Tampaknya mereka menyesal karena sempat meninggalkanku sendirian semalam.

“Mengapa kau bicara begitu, Sakura?” tanya Ino yang kuyakin pura-pura tak peka pada pertanyaanku.

“Jujur sajalah, Ino!” kataku menggodanya. “Dan kau, Tenten!” Aku beralih kepada Tenten. “Kau juga ingin menemui Kiba, kan?”

Ino dan Tenten langsung menggeleng berbarengan.

“Aku masih tak percaya,” kataku. “Sisa waktu berkemah hanya tinggal hari ini. Kalian pasti ingin membuat kenangan manis dengan pasangan kalian, kan? Aku baik-baik saja, kok! Tidak perlu khawatir.”

“Mana mungkin kami percaya,” kata Ino. “Lagipula sahabat macam apa yang bermesraan dengan orang lain sementara temannya duduk sendirian dan memandang iri ke arah para pasangan itu? Kami tidak akan mengulangi kesalahan kami.”

Itu bagus, jelas.

Namun ini beban bagiku. Aku tahu seberapa besar keinginan mereka untuk menghabiskan waktu bersama orang yang mereka sukai. Andaikan Sasuke juga anak sekolahku, mungkin aku juga menginginkan hal yang sama. Lalu bagaimana aku harus meyakinkan mereka berdua bahwa aku baik-baik saja jika mereka meninggalkanku sekarang? Karena pada kenyataannya, aku tidak baik-baik saja ditinggal sendiri begitu.

“Ah, suara ponselku!” kataku pelan.

Aku meraih ranselku yang berwarna pink pucat. Setelah mengambil benda kecil itu, aku langsung duduk manis untuk membaca pesan singkat yang masuk ke ponselku.

 

Apakah kau sedang sibuk?

Jika tidak, bisakah kau menemuiku sekarang? Dua puluh meter ke arah barat.

Sasuke Uchiha

 

Aku mengerutkan keningku. Benarkah pesan ini dari Sasuke? Dari mana dia tahu nomor ponselku? Atau aku sedang dijahili seseorang?

“Kalian tak punya alasan untuk tetap di sini menemaniku, Ino dan Tenten!” kataku tiba-tiba. “Karena aku punya alasan untuk keluar dari tenda ini untuk menemui seseorang.”

“Oh ya?” ujar Ino. Sebelah alisnya terangkat. “Siapa?”

“Seseorang yang sedang menjahiliku,” jawabku. “Tapi tak perlu khawatir. Aku hanya akan menemuinya sebentar saja.”

Tenten langsung merebut ponsel yang sedang kupegang. Dengan gerakan cepat, ia membacanya tanpa seizinku.

“Hei!” jeritku.

“Hm,” ujar Tenten tenang. “Bagaimana kalau ini benar-benar dari Sasuke Uchiha?”

“Maka aku akan berusaha untuk masuk Tokyo University,” kataku asal. “Cepat berikan padaku!”

Tenten tersenyum kepadaku. Dengan tangan yang begitu ringan, ia mengembalikan ponsel kecilku.

“Kalau begitu, kita harus sama-sama berjuang!” kata Tenten. “Karena target lanjutan Sakura selepas SMA adalah Tokyo University. Wow! Aku saja tidak berani bertaruh untuk masuk ke sana.”

Aku mengernyitkan dahiku. “Aku juga tidak bertaruh untuk masuk ke sana,” kataku. “Karena aku yang benar. Aku sedang ditipu.”

“Ya, ya, ya,” kata Ino enteng. “Kita buktikan, Sakura! Tapi jika pesan itu benar-benar dari Sasuke, maka kau harus masuk Tokyo University bagaimana pun caranya.”

Aku tidak gentar. Bukan karena aku yakin dengan isi otakku, tapi karena ini terlalu janggal untuk menerima pesan dari Sasuke yang asli.

Tanpa membuang banyak waktu, aku segera keluar dari tenda. Sesuai permintaan pengirim pesan singkat, aku berjalan ke arah barat sejauh dua puluh meter. Seorang diri.

Ino dan Tenten memaksa ingin ikut denganku. Katanya, mereka takut aku berbohong jika orang yang kutemui nanti benar-benar Sasuke. Tentu saja aku tidak akan berbohong. Jadi, setelah meyakinkan mereka bahwa aku akan bersikap sportif terhadap taruhan dadakan ini, dan setelah aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ino mulai berjalan mendekati Shikamaru dan Tenten berjalan mendekati Kiba, aku mulai menemui si pengirim pesan.

“Kalau sampai aku tidak menemui siapa pun, aku akan berdoa supaya si pengirim pesan dapat ganjaran,” kataku seraya berjalan riang menelusuri jalan yang telah kulalui semalam.

Selagi aku berjalan, samar-samar aku mendengar ada langkah di belakangku. Merasa yakin bahwa ini bagian dari jebakan, aku berpura-pura tak mendengar dan tetap berjalan lurus ke depan.

Tapi ini—agak aneh. Seseorang di belakangku tidak berniat membuatku tak sadar dengan keberadaannya. Orang itu justru semakin memperjelas langkahnya. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Dan ketika aku memfokuskan perhatianku pada pemandangan di depan, aku melihat seseorang tengah bersender di sebuah pohon yang rindang.

Celaka! Orang yang tengah bersender itu benar-benar Sasuke. Lalu siapa yang ada di belakangku?

“Tolong berhenti, Sakura!”

Aku berhenti berjalan. Aku—sangat mengenal suara itu. Suara pemimpin kelasku.

Aku menolehkan kepalaku ke belakang. Kulihat Sai berdiri di sana. Wajahnya merah. Begitu merah entah karena alasan apa.

“Tolong,” katanya pelan. “Jangan pergi menemuinya!”

TBC

17 responses to “Sakura’s Keeper (Part 5)

  1. wahhh seruuu banget!!!!!
    sasuke keren deh, sakura itu beruntung banget yah??????????!!!
    *perkenalkan aku reader baru disini.salam kenal!!!*
    part selanjutnya ditunggu,,!

  2. wah..seru abis. Eh aku ga suka sai di sini..sakura ma sasuke aja yah.!
    Next part lbh cepet ya thor..!
    Buat authornya salam kenal, aku reader baru d sini ^^

Tinggalkan komentar